AKAD
A. Pengertian akad
Menurut segi etimologi, akad berarti ikatan
antara dua perkara, baik ikatan secara langsung atau nyatamaupun ikatan secara
maknawi dari satu segi maupun dari dua segi. Bisa juga berarti (sambungan) dan
(janji).
Menurut terminology ulama fiqih akad dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus:
1.
Pengertian Umum
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas
hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama
Syafi’yah, Malikiyah dan Harabilah yaitu:
Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang
berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu
yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli,
perwakilan dan gadai.
2.
Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang
dikemukakan ulama fiqih antara lain: “Perkataan yang ditetapkan dengan
ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara yang berdampak pada objeknya”. Dengan
demikian ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau peryataan untuk menunjukan
suatu keridhaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar
atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara. Oleh karena itu,
dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikatagorikan
sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan
syariat Islam.
B. Pembentukan Akad
1.
Rukun Akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad
adalah ijab dan qabul. Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya
yang menunjang terjadinya akad tidak dikatagorikan rukun sebab keberadaannya
sudah pasti. Ulama selain Hanafiyah
berpendapat bahwa akad memiliki tiga rykun, yaitu :
a. Orang yang akad (Aqid) contoh : Penjual dan
Pembeli
-
Jelas
maksudnya
-
Selaras
-
Menyambung
b. Sesuatu yang diakadkan (Maqud Alaih), contoh :
Harga / yang dihargakan.
c. Shighat
yaitu Ijab dan Qabul
Definisi Ijab dan Qabul
Definisi Ijab menurut Ulama Hanafiyah adalah
penetapan perbuatan tertentu yang menunjukan keridaan yang diucapkan oleh orang
pertama, baik yang menyerahkan, yang mengucapkan ijab, yang menunjukan
keridhoan atas ucapan orang pertama.
Berbeda dengan pendapat di atas, ulama selain
Hanafiyah berpendapatb bahwa dikatakan oleh orang pertama dan kedua, sedangkan
qabul adalah pernyataan dari orang yang menerima barang.
Pendapat
ini merupakan pengertian umum di pahami orang bahwa ijab adalah ucapan dari
orang yang menyerahkan barang (Penjual dalam Jual Beli), sedangkan qabul adalah
pernyataan dari penerima barang.
2.
Unsur-Unsur Akad
Unsur-unsur akad adalah sesuatu yang merupakan
pembentukan adanya akad yaitu berikut ini.
a.
Shighat Akad
Shighat
akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang
menunjukan atas apa yang ada dihati keduanya tentang terjadinya suatu akad.
Halite dapat diketahui dengan ucapan perbuatan, isyarat dan tulisan. Sighat
tersebut biasa disebut ijab dan qabal.
1. Metode (Uslub) Shighat Ijab dan Qabul
Dapat
diungkapan dengan beberapa cara yaitu:
a. Akad dengan Lafazh (ucapan)
Shighat
dengan ucapan adalah shighat akad yang paling banyak digunakan orang sebab
paling mudah digunakan dan cepat dipahami.
·
Isi
Lafazh
·
Lafazh
Shighat dan kata kerja dalam shighat
·
Akad
dengan perbuatan
·
Akad
dengan Isyarat
·
Akad
dengan tulisan
2. Syarat-syarat Ijab dan Qabul
a. Syarat terjadinya Ijab dan Qabul
b. Tempat akad
c. Akad yang tidak memerlukan persambungan tempat
d. Pembatalan Ijab
b.
Al – Aqid (Orang yang Akad)
Al- Aqid
adalah orang yang melakukan akad. Keberadaanya sangat penting sebab tidak dapat
dikatakan jika tidak ada aqid. Secaraumum aqid disyaratkan harus ahli dan
memiliki kemampuan untuk melakukan akan atau mampu menjadi pengganti orang lain
jika ia menjadi wakil.
Diantara
akad yang dipandang sah dilakukan oleh anak mumayyiz menurut pandangan ulama
Hanafiyah dan Malikiyah adalah :
·
Tasharrut
(aktivitas atas benda) yang bermanfaat bagi dirinya secara murni.
·
Tasharruf
yang menandung kemadaratan secara murni.
·
Tasharruf
yang berada atara manfaat dan madarat.
c.
Mahal Aqad (Al-Maqud Alaih)
Mahal
Aqad (Al-Maqud Alaih adalah objek akad atau benda-benda yang dijadikan akad
yang bentuknya tampak dan membekas).
d.Maudhu
(Tujuan) Akad
Maudhu akad adalah maksud utama disyaratkan
akad.
C.
Syarat-Syarat Akad
·
Syarat
terjadinya akad
·
Syarat
sah akad
·
Syarat
pelaksanaan akad
·
Syarat
kepastian hokum(Lozum)
D.
Dampak Akad
·
Dampak
Khusus
·
Dampak
Umum
E.
Pembagian dan Sifat Akad
1.
Berdasarkan Ketentuan Syara
·
Akad
Sahih
·
Akad
tidak Sahih
2.
Berdasarkan Penamaanya
·
Akad
yang telah dinamai syara
·
Akad
yang belum dinamai syara
3.
Berdasarkan Maksud dan tujuan Akad
·
Kepemilikan
·
Menghilangkan
kepemilikan
·
Kemutlakan
·
Perikatan
·
Penjagaan
4.
Berdasarkan Zatnya
·
Benda
yang berwujud (Al-Ain)
·
Benda
yang tak berwujud (Ghair Al-Ain)
F.
Sifat-sifat Akad
1. Akad tanpa Syarat (Akad Munjiz)
2. Akad bersyarat (Akad Ghair Munjiz)
Akad Ghair Muajiz ada 3 macam :
·
Ta’liq
Syarat
·
Taqyid
Syarat
·
Syarat
Idhafah
G. Akhir
Akad
Akan
dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam
akad mauquf (ditangguhkan).
Adapun
pembatalan pada akad lazim terdapat dalam beberapa hal berikut :
·
Ketika
akad rusak
·
Adanya
Khiyar
·
Pembatalan
akad
·
Tidak
mungkin melaksanakan akad
·
Masa
akad berakhir
BA’I (Jual Beli)
A.
Defenisi, Landasan dan Rukun Jual Beli
1.
Pengertian Jual Beli
Menurut etimologi jual beli diartikan:
Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang
lain)
Adapun Jual Beli menurut terminologi
para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan antara lain:
a.
Menurut
Ulama Hanafiyah
Pertukaran harta
(benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang diperbolehkan).
b.
Menurut
Imam Nawawi dalam Al-Majmu
Pertukaran
harta dengan harta untuk kepemilikan.
c.
Menurut
Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Muqni
Pertukaran
harta dengan harta untuk saling menjadikan milik.
2.
Landasan Syara
Jual Beli
disyaratkan berdasarkan Al-Quran, Sunnah, dan Uma.
3.
Rukun dan Pelaksaan Jual Beli
Menurut ulama Hanafiyah rukun jual beli
adalah Ijab dan Qabul yang menunjukan pertukaran barang secara ridha, baik
dengan ucapan maupun perbuatan.
Adapun rukun jual beli menurut Jumhur ulama adalah ada 4
yaitu :
·
Bai
(Penjual)
·
Mustari
(Pembeli)
·
Shighat
(Ijab dan Qabul)
·
Ma’qud
Alaih (Benda dan Barang)
B. Syarat Jual
Beli
1.
Menurut Ulama Hanafiyah
a. Syarat
terjadinya Akad (In’iqad)
Adalah syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh syara. Tentang syarat ini, ulama Hanafiyah menetepkan empat
syarat, yakni :
1)
Syarat
Akid (orang yang aka)
·
Berakal
dan Mumayyiz
·
Aqid
harus terbilang
2)
Syarat
dalam Akad
·
Ahli
Akad
·
Qabul
harus sesuai dengan ijab
·
Ijab
dan Qabul harus bersatu
3)
Tempat
Akad
Harus bersatu
antara ijab dan qabul
4)
Ma’qud
Alaih (Objek Akad)
·
Ma’qud
Alaih harus ada
·
Harta
harus kuat, tetap dan bernilai
·
Benda
tersebut milik sendiri
·
Dapat
diserahkan
b. Syarat
Pelaksanaan Akad (Nafadz)
1.
Benda
dimiliki Aqid berkuasa untuk akad
2.
Pada
benda tidak terdapat milik orang lain.
Berdasarkan Nafadz dan Waqaf
(Penangguhan) jual beli terbagi dua:
§
Jual
Beli Nafidz
§
Jual
Beli Mauquf
c. Syarat
Sah Akad
Syarat inr
terbagi atas dua bagian yaitu:
1)
Syarat
Umum
Adalah
syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli yang telah
ditetapkan syara.
2)
Syarat
Khusus
Adalah
syarat-syarat yang hanya ada pada barang-barang tertentu.
d. Syarat
Lujum (Kemestian)
C. Hukum
(Ketetapan) Bai beserta pembahasan barang dan harga.
1)
Hukum
Akad
·
Secara
mutlak hukum aqad dibagi 3 bagian:
·
Dimaksudkan
sebagai taklif
·
Dimaksudkan
sesuai dengan sifat-sifat syara dan perbuatan
·
Dimaksudkan
sebagai dampak tasharruf syara.
2)
Tsaman
(Harga) dan Mabi (Barang Jualan)
a)
Pengertian
Harga dan Mabi
Secara umum
mabi adalah (Perkara yang menjadi tentu dengan ditentukan). Sedangkan
pengertian harga secara umum adalah (perkara yang tidak tentu dan ditentukan).
b)
Penentuan
Mabi
Penentuan
Mabi adalah penentuan barang yang akan dijual dengan barang-barang lainnya yang
tidak akan dijual, jika penentuan tersebut menolong atau menentukan akad, baik
pada jual beli yang barangnya ada di tempat akad atau tidak.
c)
Perbedaan
Harga, Nilai dan Utang
·
Harga
·
Nilai
sesuatu
·
Utang
d)
Perbedaan
Mabi dan Harga
·
Secara
umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual adalah Mabi.
·
Jika
tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah Mabi dan
penukarannya adalah harga.
e)
Ketetapan
Mabi dan Harga
Hukum-hukum
yang berkaitan dengan Mabi dan Harga antara lain :
·
Mabi
disyaratkan harus ada dalam kepemilikan penjual sedangkan harga tidak
disyaratkan demikian.
·
Mabi
disyaratkan harus ada dalam kepemilikan penjual sedangkan harga tidak
disyaratkan demikian.
·
Tidak
boleh mendahulukan harga pada jual beli pesanan sebaiknya mabi harus
didahulukan.
·
Orang
yang bertanggung jawab atas harga adalah pembeli sedangkan yang bertanggung
jawab atas Mabi adalah penjual.
·
Menurut
ulama Hanafiyah akad tanpa menyebutkan harga adalah fasial dan akad tanpa
menyebutkan mabi adalah batal.
f)
Hukum
atas Mabi dan Harga rusak serta harga yang tidak laku.
·
Jika
barang rusak semuanya sebelum diterima oleh pembeli.
·
Jika
barang rusak semuanya setelah diterima pembeli.
·
Barang
rusak sebagian setelah dipegang oleh pembeli.
g)
Tas
harruf atas Mabi dan Harga sebelum memegang.
h)
Penyerahan
dan cara meyakinkan
i)
Penyerahan
Mabi dan Harga
j)
Hal
merahan Mabi
D.
Macam Jual Beli
1.
Jual
beli berdasarkan pertukaran secara umum dibagi menjadi 4 macam :
a)
Jual
Beli Salam (Pesanan)
Jual beli salam adalah jual beli pesanan yakni jual beli dengan cara
menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barannya di antar belakangan.
b)
Jual
Beli Muqayadah (Barter)
Jual beli Muqayadah adalah jual beli dengan cara menukar barang seperti
menukar baju dengan sepatu.
c)
Jual
Beli Muthlaq
Jual Beli Muthalaq adalah jual beli
sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran seperti uang.
d)
Jual
Beli alat penukar dengan alat penukar
Adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat
penukar lainnya seperti uang perak dengan uang emas.
Berdasarkan
segi harga jual beli dibagi menjadi pula menjadi empat bagian:
·
Jual
beli yang menguntungkan (Al Murabbahah)
·
Jual
beli yang tidak menguntungkan yaitu menjual dengan harga aslinya (At Tauliyah)
·
Jual
belirugi (Al Khasarah)
·
Jual
beli Al Musawah yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya tetapi kedua orang
yang akad saling meridhai jual beli seperti inilah yanbg berkembang sekarang.
HUTANG PIUTANG
1.
Pengertian
Qarad sebagai harta yang diberikan oleh
pemberi pinjaman kepada penerima dengan syarat penerima pinjaman harus
mengembalikan besarnya nilai pinjaman pada saat mampu mengembalikannya.
2.
Dasar Hukum Hutang Pitang
Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan
dan dalam melaksankan taqwa dan janganlah kamu betolong menolong dalam dosa dan
permusuhan. Bertaqwalah kepada Allah, Allah sangat keras hukumnya.
3.
Keutamaan Memberikan Hutang
·
Mengangkatnya
(orang) dari kesulitan pada hari kiamat
·
Memudahkan
urusan dunia akhirat
·
Akan
dilipat gandakan pahalanya.
4.
Menghindari Hutang
·
Berbicara
dusta dan apabila berjanji menyalahi
·
Meninggalkan
harta untuk melunasi hutangnya
5.
Adab Umum
·
Tidak
untuk keperluan maksiat
·
Tidak
ada perjanjian kelebihan dalam pengembalian saat akad
·
Tidak
ada syarat lain kecuali waktu pelunasan jika diperlukan
·
Menuliskan
pernyataan bagi orang yang berhutang
·
Tidak
mengurangi hutangnya
6.
Niat Kuat Untuk Membayar
Seperti yang diriwayatkan oleh HR
Bukhari yaitu “`barang siapa mengambil pinjaman harta orang lain dengan maksud
untuk mengembalikannya maka Allah akan menunaikan untuknya, barang siapa yang
meminjam dengan niatan tidak mengembalikannya, maka Allah akan memusnahkan
harta tersebut”.
7.
Tidak Menunda Pembayaran
Seperti yang diriwayatkan oleh HR Abu
Daud “Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah suatu
kezhakiman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan kepada orang yang
mampu, maka hendaklah dia mengikutinya”.
8.
Memberi Tenggang Waktu
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran,
maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedahkan (sebagian/semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui (QS Al Baqarah)”.
Beberapa permasalahan Fiqih dalam Hutang Piutang
1) Hutang bahan sehari-hari
2) Penulisan Hutang
·
Khususnya
dari yang berhutang
·
Kemampuan
menulis yang baik
·
Kejujuran
dalam menuliskan
·
Telaten
dalam penulisan
3) Permasalah Zakat Piutang
·
Jika
termasuk piutang yang lancar bisa dikembalikan setiap saat.
·
Jika
piutang macet, ada yang mengatakan tidak wajib di zakati.
4) Bayar Hutang atau Zakat ?
Salah satu syarat harta zakat adalah
Al Fadhlu “Anil Al Hajah Al Ashliyah (Lebih dari
kebutuhan pokok)”.
Salamatu Minad dain (terbebas dari
tanggung hutang) sehingga tidak perlu berzakat, kecuali jenis hutang piutang
panjang atsau bukan jatuh tempo bisa dimasukan dalam faktor pengurang harta
wajib zakat.
5) Berhutang untuk Ibadah
·
Seperti
haji dengan istito’ahnya (kemampuan) sehingga tidak wajib bagi yang belum
mampu.
·
Bagaimana
dengan dana talangan haji
·
Bagaimana
dengan Qurban, Aqiqah dan Walimahan misalnya ?
·
Sebagai
ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun berhutang.
6) Pemindahan Hutang
·
Ketika
Madzhab selain Madzhab Hanafi
·
Membolehkan
hawalah muqayyadah dan mensyariatkan pada hawalah muqayyadah.
·
Praktek
modern ada pada sistem transfer bank.
7) Piutang Macet dianggap bayar Zakat ?
·
Ada
yang mengatakan tidak boleh (karena terpaksa dan putus asa)
·
Imam
Syafi’i membolehkandengan syarat harus sudah diterima terlebih dahulu
·
Membolehkan
secara langsung dianggap zakat untuk ghorim (Hasan Al Basri, Atho, Ibu Hazim)
HAWALAH
1.
Pengertian
Hawalah secara etimologi : pengalihan, pemindahan perubahan warna kulit,
memikul sesuatu diatas pundak.
Hawalah
secara termilogi : Akad pengalihan hutang piutang dari pihak yang berhutang,
berpiutang kepada pihak lain yang berwajib menanggung atau menerimanya.
2.
Rukun Hawalah
·
Pihak
1 (Muhil)
·
Pihak
2 (Muha)
·
Pihak
3 (Muhal Ataih)
·
Hutang
muhil lepada muhal (Mubal bih)
·
Hutang
Muhalaalaih kepada muhil / muhal bih2
·
Ijab
qabul
3.
Jenis Hawalah
·
Hawalah
Haqa (Pemindahan hak)
·
Hawalah
Payn (Pemindahan Hutang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar