
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sebagaimana
ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap
berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya,
tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat. Masalah
utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan
takhsis sudah ada pada zaman Rosulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah saw,
umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum
syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Pada masa
tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang
menempuh metode maslalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa
sahabat sebelumnya. Pada nmasa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan
mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan
oleh para ulama ketika itu. ( Abu Zahro : 11 ).
Corak
perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa
Al- Aimmat Al- Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang
digunakan juga semakin jelas bentuknya bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh
metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka
lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad (Abu Zahro: 12).
Apa yang
dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat,
tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun
demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang
sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu
tersendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PERIODE
RASULULLAH SAW
Masa
Rasulullah ini dimulai semenjak beliau mendapatkan wahyu yang pertama sebagai
tanda beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul yaitu ketika beliau berusia 40
tahun.[1]
Periode
rasulullah, yaitu periode insya’ dan takwin(pertumbuhan dan pembentukan) yang
berlangsung selama 22 tahun dan beberapa bulan, yaitu terhitung sejak dari
kebangkitan Rasulullah tahun 610 M sampai dengan kewafatan beliau pada tahun
632 M.[2] Namun pengaruhnya sangat besar dan penting,
karena telah mewariskan beberapa ketetapan hokum dalam Al-Qur’an dan Assunah,
dan sejumlah dasar-dasar pokok tasyi’ secara menyeluruh. Dan telah memberikan
petunjuk dan pedoman tentang sumber dan dalil yang dipergunakan dalama rangka
untuk mengetahui suatu hokum dari persoalan yang belum ada ketetapan hokum.
Dengan demikan, periode ini telah mewariskan dasar pembentukan hokum tasyri’
secara sempurna.[3]
Di zaman Rasulullah SAW
sumber hukum Islam hanya dua yang telah dijelaskan diatas, yaitu Al-Quran dan
Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang
menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah
SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal
dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara lain dapat
diketahui dari sabda Rasulullah SAW yang artinya sebagai berikut:
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).
Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat
Islam. Hadits tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi,
menunjukkan perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi.
Dalam pengutusan ini Nabi bersabda
كيف تقض ادا عر ض لك قضا ء ؟ قال ا قض بكتا ب الله قال فا ن لم تجد ف كتا ب
الله؟ قال فبسنة ر سو ل الله قال فان لم تجد في سنة ر سو ل الله قال اجتهد راى ولا
لو فضرب رسو ل الله على صدره وقال ا ا لحمد ا ا لذي و فق رسو ل اللهكما ير ض ر سسو
ل الله
“Bagaimana engkau (mu’az) mengambil
suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab
mu’az saya akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah
(Al-Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab Allah? Jawab Mu’az, saya
akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Rasulullah.
Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya akan
berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’az
seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan
Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan rasulnya.”
Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk
mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan
keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat
dalam Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah
ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam sebuah
haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap
urusan-urusan keduniaan Rasulullah bersabda :
ا نتم ا علم با مو ر د نيا كم
“Kamu lebih mengetahui tentang urusan
duniamu.”
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang
menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad
sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil
usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi
sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan
ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan
dalam hadits-haditnya sebagai berikut :
جات ا مر ا ة خثيمية فقا لت يا ر سو ل ا لله ان ابى اد ر كته ف رضه احغ و لم
يحج و هو لا يتمسك على الر حا لة لمر ضه افا حج عنه ؟ فقا ل ر سو ل الله عليه و
سلم ار ايت لو كا ن على ا بيك دين اقتضيته عنه قا لت نعم قال فدين ا لله ا حق ان
يقض
“Seorang wanita namanya Khusaimiah
datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah
menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena sakit, Apakah saya
harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana
pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar? Perempuan
itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.
Hadis
ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang
sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan keharusan pendunian kewaiban ibadah
haji bapaknya yang sedang sakit, Nabi mengharuskan penunaianya dengan melakukan
pengqiyas terhadap pembayaran utang antara sesame manusia.
2.
PERIODE
SAHABAT
Masa
sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah
kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah
masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum,
yaitu Alquran,sunnah,dan ra’yu(nalar).
Masa sahabat
dimulai dari wafatnya Rasulullah dan berakhir pada abad pertama hijriyah. Di
masa sahabat ini ada dua hal yang sangat menonjol yang belum pernah terjadi
pada masa lampau. Di antaranya yang sangat menonjol pada masa itu bertambah
luasnya daerah yang dikuasai oleh umat islam yang meliputi Syam, Mesir, Irak
dan Persia. Daerah yang begitu luas yang dihuni oleh berbagai suku bangsa yang
mempunyai corak dan adat istiadat yang berbeda-beda. Tentunya hal yang seperti
ini menyebabkan peristiwa yang baru, baik dalam pergaulan hubungan antara
individu dan masyarakat bahkan Negara antar negara yang bukan islam. Peristiwa
yang seperti ini belum terjadi dimasa lampau dan ketentuan hukumnya pun tidak
didapat, baik di dalam al-Quran maupun di dalam sunnah.[4]
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang
menentukan ketetapan hukumnya.
Untuk
itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah rasulullah SAW
sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak
lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa
sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum. Sebagai contoh hasil ijtihad para
sahabat, yaitu: Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potongan tangan
kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin
Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum
dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali
menyamakan kedudukan wanita dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan
belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya. Yang oleh syara’ ditetapkan
hak mut’ah baginya.
Adapun
cara para sahabat menetapkan hukum sesuatu peristiwa pertama mereka cari
ketentuan hukumnya di dalam al-Qur’an, apabila juga tidak bertemu dalam kedua
sumber ini barulah mereka berijtihad dengan mengqiaskan sesuatu peristiwa yang
belum ada ketentuan hukumnya dengan suatu pereristiwa yng sudah ada ketentuan
hukumnya, baik yang sudah diterapkan melalui al-Qur’an maupun melalui sunnah.
Dan kalau juga tidak mereka jumpai di dalam sumber ini barulah mereka
berijtihad.
Dikalangan
para sahabat sudah ada dua pola pikiran yang bertolak belakang, yang satu cenderung
dalam menetapkan hukum hanya melaksanakan sesuai dengan harfiah lafal tanpa
mencari dibelakang nash namun mereka juga mencari dibelakang nash itu dengan
menggunakan ratio. Kedua kelompok ini yang kemudian dinamakan Ahlul Hadis
(tradisional) yang dipelopori oleh Ibnu Mas’ud dan kelompok kedua yang
dinamakan Ahlur Rai’ (rational) yang dipelopori oleh Umar bin Khatab.
Pada
periode ini terdapat dua kecenderungan berfikir sebagai berikut :
Ø AHLUL
RA’YI
Ahlu
Ra’yi kenderungan berfikirnya lebih banyak mempergunakan ratio tidak membatasi
diri kepada harfiyah lafal nash mereka. Ahlu ra’yi berkembang di kota Kufah
(Irak) yang jauh dari pusat pemerintahan.
Ø AHLUL
HADIS
Ahlu
Hadis kecenderungan berfikirnya
membatasi diri hanya kepada lafal yang terkandung dalam nash sedikit
mempergunakan ratio. Ahlul hadis berkembang di Hajaz dimana kondisi Hijaz
memungkin berkembang Ahlul Hadis dimana di daerah itu banyak terdapat para
sahabat yang berarti daerah hijaz kaya dengan hadis. Disamping itu di daerah
Hijaz terletak kota Madinah yan menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan masa
Usman bin Affan.[5]
.
3.
PERIODE
TABI’IN
Tabi’in adalah generasi
setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat.
Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke
berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas
di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di
Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan
dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing
daerah meminta fatwa.
Pada
abad kedua dan ketiga hijriyah, yang dikenal dengan masa tabi’in, daerah yang
dikuasai oleh umat islam makin meluas, banyak bangsa-bangsa yang bukan Arab
memeluk agama islam. Karena itu timbul berbagai kasus baru yang belum pernah
terjadi di masa sebelumnya.[6]
Pada
masa tabi’in, disekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan islam telah
menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang
bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan berbagai pula situasi dan
kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yangbertebaran di
daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang
memeluk agama islam. Dengan semakin tersebarnya agama islam di kalangan
penduduk dari kalangan berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak
persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal berbagai
daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena
banyak persoalan hukum yang timbul dan karena kemajuan ilmu pengetahuan dalam
bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad
juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam
pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan
para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya.
Perbedaan dan perdebatan tresebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan
daerah yang lain. Tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal satu daerah.
Kenyataan-kenyatan diatas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah
sya’riah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar
syara’ dalam menetapkan hukum dalam ijtihad.
Demikian
pula dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam dan banyak penduduk yang
bukan bangsa Arab memeluk agama islam. Maka terjadilah pergaulan antara
orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan
bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam
susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian
itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam
memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama menyusun kaidah-kaidah
lughawiyah (bahasa), agar memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh
orang-orang arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.
Dengan
disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad
II Hijriyah, maka telah terwujudkan Ilmu Ushul Fiqh dikatakan oleh Ibnu Nadim
bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah imam Abu
Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan
tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan
oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah
kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasanya adalah Muhammad
bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama
Ar-Risalah dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang
pertama sampai kepada kita oleh karena itu terkenal dikalangan para ulama,
bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
4.
PERIODE
PASCA TABI’IN
Pembukuan ushul fiqh
Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan
wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya
berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para
ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Golongan Hanafiyah misalnya mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu
ushul Fiqih ialah Abu Hanifah, Abu Yusuf Dan Ibnu Ali-Al Hasan. Alasan mereka
bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam
kitabnyanya Ar-Ra'yu. Dan Abu Yusuf Abu Yusuf adalah orang yang pertama
menyusun ushul fiqh dalam madzhab hanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al-Hasan
telah menyusun ushul fiqh sebelum As-Syafi'ie, bahkan As-Syafi'i berguru
kepadanya.
Golongan As-Syafiiyah juga mengklaim bahwa Imam As-Syafi'i lah orang yang
pertama yang menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini di ungkapkan oleh Al-Allamah
Jamal Ad-Din Abd Ar-Rohman Ibnu Hasan Al-Asnawi. Menurutnya, "tidak
diperselisihkan lagi "Imam Syafi'i adalah tokoh besar yang pertama-tama
menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak asing lagi dan yang
sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-Risalah2
Kalau dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih
sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak
diperselisihkan lagi. Namun yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula
mengarang kitab ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang
bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu kita perlu mengetahui
terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih. Secara garis
besar ada dua teori penulisan yang dikenal yakni.
Pertama, merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi
setiap bab dalam bab fiqih dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah
furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan
Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat
menolong seorang mujtahid dan meng-istinbat hukum dari sumber hukum syar’i,
tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan
dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh Al-Qur'an-syafi’i
dalam kitabnya ar-risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam
bidang ilmu ushul dan independen. Kitab seperti ini belum ada sebelumya,
menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah (sulaiman:64).[7]
Tahapan perkembangan ushul fiqih
secara garis besarnya, ushul fiqh dapat
di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
- Tahap awal (abad 3H)
pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas
kebagian timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah :
Al-Ma'mun(w.218H), Al-Mu'tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan
Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah
dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari
kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah
berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode
berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh .
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun
seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan
As-Syafi'i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai
tinggi. Ar-Razi berkata "kedudukan As-Syafi'i dalam ushul fiqh setingkat
dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad
dalam ilmu Ar-rud".
Ulama sebelum As-Syafi'i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan
menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang
menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari'at dan cara memegangi dan
cara mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi'i menyusun ilmu ushul fiqih yang
merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui
tingkatan-tingkatan dalil syar'I, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu
ushul fiqh sesudah As-Syafi;I, mereka tetapbergantung pada Asy-Syafi'i karena
Asy-Syafi'ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab
ushul fiqh lainya. Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas.
Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra'yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H\835M)
menulis kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul - fiqh yang ada pada abad 3
h ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup
segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang
mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para
Fuqoha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam
kitab-kitab fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu
mengklaim bahwa Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh
tersebut. Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai
perintis pertama ushul fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian
kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang
kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari
Rasulluloh pada saat yang sama, Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip
bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadits saja
- Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abaSsiyah
dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil
yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak
berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama
ketika itu karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya
dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik
tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri' Islam. Pemikiran liberal Islam
berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para
ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau
lagi mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja,
akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai
fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban
menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab
sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan
taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan
kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para
pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain:
- Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
- Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah.
- Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini
telah tertutup, akibatnya dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
- Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
- Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang sungkat
- Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya
ijtihad dalam fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para
ulama terdahulu dan mentarjihkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar
dalam bidang ushul fiqh.
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai
dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama
fiqh diantara kitab yan terekenal adalah:
- Kitab ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
- Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi- ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
- Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada
abad 4h yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul secara utuh
dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata
untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada
sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab
fushul-fi al- ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri
corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad 4h., juga
tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang bercorak filsafat, khususnya
metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu
4.
Tahapan
Penyempurnaan (Abad 5-6)
Kelemahan
politik di Bagdad, yang ditandai dengan lahirnya daulah kecil, membawa arti
bagi perkembangan peradaban dunia islam.
Salah
satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan dibidang ilmu Ushul fiqh yang
menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya;
antara lain Al-Qahdhi Abd. Al- jabar, Abd Al-Wahab Al-Bagdadi, Abu Zayd
Ad-Dabusy, Abuhusain Al-Bashri, Imam Al-Haramain, Abd Al- Malik Al-Juwaini, Abu
Hamid Al-Ghazaii, dan lain-lain. Mereka itulah pelopor keilmuan islam di zaman
itu.
Dalam
sejarah perkembangan ilmu ushul fiqh, pada abad 5 dan 6 H.ini merupakan periode
penulisan kitabushul fiqh terpesat, yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang
menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Kitab-kitab
ushul fiqh yang paling penting, antara lain sebagai berikut:
a. Kitab
Al-Mughni fi Al-Abwab Al-‘Adl wa At-Tawhid, ditulis Oleh Al-Qadhi Abd. Al-Jabar
(w.415 H./ 1024 H)
b. Kitab
Al-Mu’amad fi Al-ushul Fiqh, ditulis oleh Abu Al-Husain Al-Bashri (w. 436
H./1044 H )
c. Kitab
Al-iddaf fi ushul Al-Fiqh, ditulis oleh Abu Al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la
Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalf Al-Farra ( w.458 H/1065 H)
d. Kitab
Al-Burhan fi Ushul Al-fiqh, ditulis oleh Abu Al-ma’li Abd. Al-Malik Ibnu
Abdillah Ibnu Yusuf al-Juwaini Imam Al-Haramain (w. 478 H./1094 H)
e. Kitab
Al- Mustashfa min Ilm Al-ushul, ditulis Abu Hamid Al-Ghazali (w.505H/1111H).[8]
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan
1.
Apa yang dikemukakan di atas
menunjukkan bahwasejak zaman Rasulullah saw sahabat, tabi’in dan sesudahnya,
pemikiran hukum islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode
pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain,
belum terbentuk sebagai disiplin ilmu tersendiri.
2.
Karena timbulnya berbagai persoalan
yang belum diketahui hukumnya.untuk itu para ulama islam sangat membutuhkan
kaidah-kaidah hokum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali
dan menetapkan hokum maka disusunlah kitab ushul fiqh.
3. Bahwa
kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqh merupakan salah satu upaya dalam
menjaga keasrian hokum syara. Dan menjabarkan kehidupan social yang
berubah-uabah itu, kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga hijriyah. Ushul
fiqh terus berkembangan menuju kesempurnaannya hingga pada kelima dan awal abad
keenam hijriyah abad tersebut abad keemasan penulisan ilmu
ushul fiqh karena banyak ulama yang memusatkan perhatiannya pada bidang ushul
fiqh dan juga muncul kitab-kitab fiqh yang menjadi standard an rujukan untuk
ushul fiqh selanjutnya.
Daftar Pustaka
·
M. Asywadie Syukur,
L.C, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul fiqh, PT.
Bina Ilmu Surabaya, 1990
·
.Nazar Bakhri, Fiqih
Dan Ushul Fiqh, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994
·
Abdul Wahaf Khallaf, sejarah
pembentukan dan Perkembangan hukum islam, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2001
·
M.Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh danUshul Fiqh, PT
Bina Ilmu, Surabaya, 1990
·
Rachmat syafe’I, ilmu
ushul fiqh, pustaka setia, bandung
[1] M. Asywadie Syukur, L.C, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul fiqh, PT. Bina Ilmu Surabaya, 1990,
hlm 13.
[2].Nazar Bakhri, Fiqih Dan Ushul
Fiqh, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm.70
[3] . Abdul Wahaf Khallaf, sejarah
pembentukan dan Perkembangan hukum islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001,cetk. 1, hlm. 8.
[6] M. asywadie syukur, op cit. hlm 5
[7] Rachmat syafe’I, ilmu ushul
fiqh, pustaka setia, bandung. Hlm.27-29
[8] Rachmat syafe’I, op cit. hlm 30-39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar