Sabtu, 09 November 2013

USHUL FIQH I



BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul  fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rosulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada nmasa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu. ( Abu Zahro : 11 ).
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa Al- Aimmat Al- Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas bentuknya bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad (Abu Zahro: 12).
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.




BAB II
PEMBAHASAN

1.      PERIODE RASULULLAH SAW

Masa Rasulullah ini dimulai semenjak beliau mendapatkan wahyu yang pertama sebagai tanda beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul yaitu ketika beliau berusia 40 tahun.[1]
Periode rasulullah, yaitu periode insya’ dan takwin(pertumbuhan dan pembentukan) yang berlangsung selama 22 tahun dan beberapa bulan, yaitu terhitung sejak dari kebangkitan Rasulullah tahun 610 M sampai dengan kewafatan beliau pada tahun 632 M.[2]  Namun pengaruhnya sangat besar dan penting, karena telah mewariskan beberapa ketetapan hokum dalam Al-Qur’an dan Assunah, dan sejumlah dasar-dasar pokok tasyi’ secara menyeluruh. Dan telah memberikan petunjuk dan pedoman tentang sumber dan dalil yang dipergunakan dalama rangka untuk mengetahui suatu hokum dari persoalan yang belum ada ketetapan hokum. Dengan demikan, periode ini telah mewariskan dasar pembentukan hokum tasyri’ secara sempurna.[3]
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua yang telah dijelaskan diatas, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW yang artinya  sebagai berikut:
Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).
Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadits tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi bersabda
كيف تقض ادا عر ض لك قضا ء ؟ قال ا قض بكتا ب الله قال فا ن لم تجد ف كتا ب الله؟ قال فبسنة ر سو ل الله قال فان لم تجد في سنة ر سو ل الله قال اجتهد راى ولا لو فضرب رسو ل الله على صدره وقال ا ا لحمد ا ا لذي و فق رسو ل اللهكما ير ض ر سسو ل الله
“Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab Allah? Jawab Mu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Rasulullah. Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan rasulnya.”
Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam sebuah haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap urusan-urusan keduniaan Rasulullah bersabda :
ا نتم ا علم با مو ر د نيا كم
“Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut :
جات ا مر ا ة خثيمية فقا لت يا ر سو ل ا لله ان ابى اد ر كته ف رضه احغ و لم يحج و هو لا يتمسك على الر حا لة لمر ضه افا حج عنه ؟ فقا ل ر سو ل الله عليه و سلم ار ايت لو كا ن على ا بيك دين اقتضيته عنه قا لت نعم قال فدين ا لله ا حق ان يقض
“Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.
            Hadis ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan keharusan pendunian kewaiban ibadah haji bapaknya yang sedang sakit, Nabi mengharuskan penunaianya dengan melakukan pengqiyas terhadap pembayaran utang antara sesame manusia.


2.      PERIODE SAHABAT
  Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran,sunnah,dan ra’yu(nalar).
Masa sahabat dimulai dari wafatnya Rasulullah dan berakhir pada abad pertama hijriyah. Di masa sahabat ini ada dua hal yang sangat menonjol yang belum pernah terjadi pada masa lampau. Di antaranya yang sangat menonjol pada masa itu bertambah luasnya daerah yang dikuasai oleh umat islam yang meliputi Syam, Mesir, Irak dan Persia. Daerah yang begitu luas yang dihuni oleh berbagai suku bangsa yang mempunyai corak dan adat istiadat yang berbeda-beda. Tentunya hal yang seperti ini menyebabkan peristiwa yang baru, baik dalam pergaulan hubungan antara individu dan masyarakat bahkan Negara antar negara yang bukan islam. Peristiwa yang seperti ini belum terjadi dimasa lampau dan ketentuan hukumnya pun tidak didapat, baik di dalam al-Quran maupun di dalam sunnah.[4] Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menentukan ketetapan hukumnya.
Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum. Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu: Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potongan tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali menyamakan kedudukan wanita dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya. Yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah baginya.
Adapun cara para sahabat menetapkan hukum sesuatu peristiwa pertama mereka cari ketentuan hukumnya di dalam al-Qur’an, apabila juga tidak bertemu dalam kedua sumber ini barulah mereka berijtihad dengan mengqiaskan sesuatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan suatu pereristiwa yng sudah ada ketentuan hukumnya, baik yang sudah diterapkan melalui al-Qur’an maupun melalui sunnah. Dan kalau juga tidak mereka jumpai di dalam sumber ini barulah mereka berijtihad.
Dikalangan para sahabat sudah ada dua pola pikiran yang bertolak belakang, yang satu cenderung dalam menetapkan hukum hanya melaksanakan sesuai dengan harfiah lafal tanpa mencari dibelakang nash namun mereka juga mencari dibelakang nash itu dengan menggunakan ratio. Kedua kelompok ini yang kemudian dinamakan Ahlul Hadis (tradisional) yang dipelopori oleh Ibnu Mas’ud dan kelompok kedua yang dinamakan Ahlur Rai’ (rational) yang dipelopori oleh Umar bin Khatab.
Pada periode ini terdapat dua kecenderungan berfikir sebagai berikut :
Ø  AHLUL RA’YI
Ahlu Ra’yi kenderungan berfikirnya lebih banyak mempergunakan ratio tidak membatasi diri kepada harfiyah lafal nash mereka. Ahlu ra’yi berkembang di kota Kufah (Irak) yang jauh dari pusat pemerintahan.
Ø  AHLUL HADIS
Ahlu Hadis  kecenderungan berfikirnya membatasi diri hanya kepada lafal yang terkandung dalam nash sedikit mempergunakan ratio. Ahlul hadis berkembang di Hajaz dimana kondisi Hijaz memungkin berkembang Ahlul Hadis dimana di daerah itu banyak terdapat para sahabat yang berarti daerah hijaz kaya dengan hadis. Disamping itu di daerah Hijaz terletak kota Madinah yan menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan masa Usman bin Affan.[5]
.    
3.      PERIODE TABI’IN
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa.
Pada abad kedua dan ketiga hijriyah, yang dikenal dengan masa tabi’in, daerah yang dikuasai oleh umat islam makin meluas, banyak bangsa-bangsa yang bukan Arab memeluk agama islam. Karena itu timbul berbagai kasus baru yang belum pernah terjadi di masa sebelumnya.[6]
Pada masa tabi’in, disekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan berbagai pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yangbertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama islam. Dengan semakin tersebarnya agama islam di kalangan penduduk dari kalangan berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyak persoalan hukum yang timbul dan karena kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tresebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain. Tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal satu daerah. Kenyataan-kenyatan diatas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah sya’riah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam ijtihad.
Demikian pula dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam dan banyak penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orang-orang arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudkan Ilmu Ushul Fiqh dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah imam Abu Yusuf  -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasanya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita oleh karena itu terkenal dikalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.




4.      PERIODE PASCA TABI’IN

Pembukuan ushul fiqh
Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Golongan Hanafiyah misalnya mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu ushul Fiqih ialah Abu Hanifah, Abu Yusuf Dan Ibnu Ali-Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya Ar-Ra'yu. Dan Abu Yusuf Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqh dalam madzhab hanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al-Hasan telah menyusun ushul fiqh sebelum As-Syafi'ie, bahkan As-Syafi'i berguru kepadanya.
Golongan As-Syafiiyah juga mengklaim bahwa Imam As-Syafi'i lah orang yang pertama yang menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini di ungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din Abd Ar-Rohman Ibnu Hasan Al-Asnawi. Menurutnya, "tidak diperselisihkan lagi "Imam Syafi'i adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-Risalah2
Kalau dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan lagi. Namun yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih. Secara garis besar ada dua teori penulisan yang dikenal yakni.
Pertama, merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab fiqih dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid dan meng-istinbat hukum dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh Al-Qur'an-syafi’i dalam kitabnya ar-risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab seperti ini belum ada sebelumya, menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah (sulaiman:64).[7]










Tahapan perkembangan ushul fiqih
secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
  1. Tahap awal (abad 3H)
pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma'mun(w.218H), Al-Mu'tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh .
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi'i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata "kedudukan As-Syafi'i dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud".
Ulama sebelum As-Syafi'i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari'at dan cara memegangi dan cara mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi'i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar'I, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi;I, mereka tetapbergantung pada Asy-Syafi'i karena Asy-Syafi'ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushul fiqh lainya. Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra'yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul - fiqh yang ada pada abad 3 h ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqoha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut. Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama ushul fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat yang sama, Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadits saja
  1. Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abaSsiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri' Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain:
  1. Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
  2. Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah.
  3. Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
  1. Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
  2. Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang sungkat
  3. Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh.
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama fiqh diantara kitab yan terekenal adalah:
  1. Kitab ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
  2. Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi- ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
  3. Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4h yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al- ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad 4h., juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu
4.      Tahapan Penyempurnaan (Abad 5-6)
Kelemahan politik di Bagdad, yang ditandai dengan lahirnya daulah kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia islam.
Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan dibidang ilmu Ushul fiqh yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya; antara lain Al-Qahdhi Abd. Al- jabar, Abd Al-Wahab Al-Bagdadi, Abu Zayd Ad-Dabusy, Abuhusain Al-Bashri, Imam Al-Haramain, Abd Al- Malik Al-Juwaini, Abu Hamid Al-Ghazaii, dan lain-lain. Mereka itulah pelopor keilmuan islam di zaman itu.
Dalam sejarah perkembangan ilmu ushul fiqh, pada abad 5 dan 6 H.ini merupakan periode penulisan kitabushul fiqh terpesat, yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqh yang paling penting, antara lain sebagai berikut:
a.       Kitab Al-Mughni fi Al-Abwab Al-‘Adl wa At-Tawhid, ditulis Oleh Al-Qadhi Abd. Al-Jabar (w.415 H./ 1024 H)
b.      Kitab Al-Mu’amad fi Al-ushul Fiqh, ditulis oleh Abu Al-Husain Al-Bashri (w. 436 H./1044 H )
c.       Kitab Al-iddaf fi ushul Al-Fiqh, ditulis oleh Abu Al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalf Al-Farra ( w.458 H/1065 H)
d.      Kitab Al-Burhan fi Ushul Al-fiqh, ditulis oleh Abu Al-ma’li Abd. Al-Malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf al-Juwaini Imam Al-Haramain (w. 478 H./1094 H)
e.       Kitab Al- Mustashfa min Ilm Al-ushul, ditulis Abu Hamid Al-Ghazali (w.505H/1111H).[8]

                                                                 BAB III
KESIMPULAN

          Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan
1.      Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwasejak zaman Rasulullah saw sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai disiplin ilmu tersendiri.
2.      Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya.untuk itu para ulama islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hokum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hokum maka disusunlah kitab ushul fiqh.
3.      Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqh merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hokum syara. Dan menjabarkan kehidupan social yang berubah-uabah itu, kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga hijriyah. Ushul fiqh terus berkembangan menuju kesempurnaannya hingga pada kelima dan awal abad keenam  hijriyah  abad tersebut abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh karena banyak ulama yang memusatkan perhatiannya pada bidang ushul fiqh dan juga muncul kitab-kitab fiqh yang menjadi standard an rujukan untuk ushul fiqh selanjutnya.









Daftar Pustaka




·         M. Asywadie Syukur, L.C, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul fiqh, PT. Bina Ilmu Surabaya, 1990
·         .Nazar Bakhri, Fiqih Dan Ushul Fiqh, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994
·         Abdul Wahaf Khallaf, sejarah pembentukan dan Perkembangan hukum islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
·         M.Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh danUshul Fiqh, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1990
·         Rachmat syafe’I, ilmu ushul fiqh, pustaka setia, bandung


[1]  M. Asywadie Syukur, L.C, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul fiqh, PT. Bina Ilmu Surabaya, 1990, hlm 13.

[2].Nazar Bakhri, Fiqih Dan Ushul Fiqh, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm.70
[3] . Abdul Wahaf Khallaf, sejarah pembentukan dan Perkembangan hukum  islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,cetk. 1, hlm. 8.
[4] M.Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh danUshul Fiqh, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1990, hlm. 15
 [5] M. asywadie syukur, op cit. hlm 31-32
[6] M. asywadie syukur, op cit. hlm 5
[7] Rachmat syafe’I, ilmu ushul fiqh, pustaka setia, bandung. Hlm.27-29
[8] Rachmat syafe’I, op cit. hlm 30-39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar