Sabtu, 09 November 2013

ushul fiqh II iJTIHAD


PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
            Hukum sebagai realisasi salah satu bentuk hubungan antara manusia, terdapat di mana-mana dalam pergaulan antara manusia. Inilah salah satu cirri yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
            Sewaktu Allah menanamkan kedalam jiwa manusia daya berfikir dan merenung maka ditanamkannya dari suatu kekagumannya terhadap alam ini, dan di segi lain kecemasannya terhadap kekuasaan alam dan kekuasaannya.
            Sebelum Islam, seluruh agama peranannya hanya terbatas pada mensucikan jiwa dan meningkatkan kedudukan manusia ke tarap yang berbeda dari hewan-hewan lainnya. Berbeda dengan syari’at Islam, di dalam syari’at Islam terdapat dua bidang yang mempunyai pembahasan yang terpisah, dalam banyak hal yang diatur oleh undang-undang yang berbeda atau berlainan yaitu bidang ibadah dan bidang mu’amalah.
            Sebagaimana diketahui bahwa syari’at Islam adalah universal. Dengan sifat universalnya itu berate cocok (sesuai dan selaras) buat manusia dimanapun mereka berada. Untuk membuktikan keuniversalan itu kita harus menggunakan ijtihad, karena dengan berijhtihad kita dapat menyesuaikan dan menyelaraskan keadaan dan tempat dengan patokan-patokan umum yang dikandung syari’at Islam.
            Kita tentu menyadari bahwa akibat-akibat yang ditimbulkan oleh manusia senantiasa berubah tidak henti-hentinya, lebih-lebih pada masa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, asal kita mau berijhtihad semua persoalan yang timbul dengan mudah akan terjawab.
            Permasalahannya yqng timbul sampai sekarang masih ada saja, ada orang yang beranggapan bahwa pintu ijhtihad telah tertutup. Sebenarnya angapan itu hanya mengunyah-ngunyah istilah tanpa mengetahui artinya. Orang mengatakan hari ini mujtahid muthlaq telah tiada, tanpa mengetahui perbedaan antara mujtahid mustaqil dan mujtahid muthlaq, muqayyad juga mujtahid muntasib.
Oval: 1            Disamping itu sulitnya mendapatkan mujtahid pada masa sekarang ini, bukan lantaran sulitnya mendapatkan sarana ijtihad, tetapi karena keengganan orang untuk menekuni jalan menuju kesana. Padahal ijtihad itu adalah fardlu kifayah disetiap kurun waktu (kulli ashar) dan wajib adanya orang/kelompok yang melaksanakan ijtihad di setiap daerah, inilah sebabnya ijtihad itu menjadi penggerak yang sangat diperlukan dalam sejarah pertumbuhan dan pembinaan syara’.

B.     Rumusan Masalah
 Berdasarkan uraian  yang telah penulis ungkapkan di latar belakang diatas, maka yang akan menjadi permasalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Definisi Ijtihad dan Hukumnya
2.      Obyek Ijtihad
3.      Pendekatan Ijtihad
4.      Syarat Mujtahid

















Oval: 2
 


PEMBAHASAN


A.    Pengertian Ijtihad dan dasar hukumnya
Ijtihad (Ar.: al-ijtihad; berasal dari kata jahada = mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban). Usaha sunguh-sungguh yang dilakukan seorang mujtahid untuk mencapai suatu putusan syarak (hukum islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah.[1]
Ada beberapa rumusan ijtihad yang dikemukakan ulama. Perbedaan definisi pada umumnya berawal dari pendekatan yang digunakan. Bagi ulama yang melakukan pendekatan melalui pemikiran non politik dan integral, ijtihad diartikan dengan “segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, seperti fikih, teologi, filsafat, dan tasawuf”. Adapun ulama usul fikih melihat ijtihad sebagai aktivitas nalar yang berkaitan dengan masalah fikih. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa upaya memahami masalah-masalah teologi, filsafat, dan tasawufdari nas tidak dinamakan sebagai aktivitas ijtihad. Akan tetapi ulama usul fikih ini dalam dalam merumuskan ijtihad secara terminologis tidak terlalu tajam, pada gilirannya perbedaan tersebut berpengaruh terhadap kedudukan dan bidang kajian ijtihad. [2]
Menurut istilah, para Ulama Ushul memberikan banyak definisi yang berbeda dalam redaksinya, namun mereka sepakat dalam hakikat dan tujuannya, diantaranya kami kemukakan sebagai berikut :
1.      Menurut Al Ghazali, ialah orang mujtahid mencurahkan maksimal kemampuannya, dalam mencari ilmu tentang hukum syari’at.
2.      Menurut Ibnul Hajib ialah adanya fiqhi mencurahkan kemampuannya untuk memperoleh suatu pengertian “dzanni” pada hukum syari’i.
3.      Menurut Al Kamal ibnu Humam ialah pencurahan kemampuan dari ahli fiqhi (faqih) untuk memperoleh hukum syar’i baik akli maupun nakli, qate’I, atau dzanni.  [3]
Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari dalil-dalilnya.[4]
Oval: 3Pengertian Ijtihad menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut  merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah barang tentu cara ini tidak disebut ijtihad.[5]
Oval: Jadi kalau seorang akan melakukan ijtihad, berarti dia mengadakan penyelidikan langsung kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist untuk kemudian menganalisa kedua dalil tersebut. Dari hasil analisa itu dapat disimpulkan sesuatu hukum tentang berbagai persoalan.
Syari’at Islam adalah suatu hukum ke-Tuhanan, dan ijtihad disini merupakan jalan untuk mendapatkan ketentuah-ketentuan hukum dari dalil-dalil itu dan sebagai suatu bcara untuk memberikan ketentuan hukum yang timbul karena tuntutan kepoentingan dalam mu’amalah. Itulah sebabnya di dalam sejarah perkembangan hukum Islam, ijtihad ini menjadi suatu keharusan praktis.[6]
Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalah qiyas untuk mengeluarkan (istinbat) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.
Hasby Ash Shiddiqi mengemukakan bahwa ijtihad adalah ”menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan zhan.
Adapun ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) adalah jalan yang diikuti hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan teks undang-undang maupun dengan mengistimbatkan hukum wajib ditetapkan ketika ada nash.
Bagi peristiwa yang sudah ada ketentuan nashnya cara ijtihad adalah dengan jalan memahami nash dan meneliti apakah nash itu bersifat khusus atau umum, dan kalau bersifat umum, apakah dibatasi keumumannya atau tidak. Sedangkan bagi ijtihad yang tidak ada ketentuan nashnya, maka obyek ijtihad ialah memahami dan meneliti hukumnya dengan memakai qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, urf dan dalil-dalil hukum lainnya.[7]

a.      Dasar Hukum Ijtihad

Oval: 4Ijtihad mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan hadis. Diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dasar ijtihad oleh para ahli usul fikih adalah firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 105 yang artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu…”
Menurut Imam al-Bazdawi (ahli usul fikih Mazhab Hanafi), Imam al-Amidi dan Imam asy-Syatibi, ayat ini mengandung pengakuan terhadap eksistensi ijtihad melalui kias (analogi). Kemudian dalam surah an-Nisa’ (94) ayat 59 Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya)…”
Menurut Ali Hasaballah (ahli usul fikih dari Mesir), kalimat “kembalikan kepada Allah dan Rasul” dalam ayat tersebut menujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah dalam membahas persoalan-persoalan yang kadang kala sulit dipahami; penerapan kaidah umum yang diinduksi dari nas secara analogi; atau upaya untuk mencapai tujuan-tujuan syarak dalam menetapkan hukum. Semua itu termasuk dalam “mengembalikan seluruh persoalan kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Adapun dasar hukum ijtihad dalam sunah adalah sabda Rasulullah SAW. “apabila seorang hakim (akan) menetapkan hukum lalu ia berijtihad dan ijtihadnya itu salah, maka ia mendapat dua pahala. Apabila seorang hakim (akan) menetapkan hukum lalu ia berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hanbal, an-Nasa’I, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Amir bin AS). Hadis lain adalah hadis yang intinya menceritakan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’az bin Jabal (603-639;salah seorang sahabat) ketika diutus ke Yaman sebagai kadi. Pada waktu itu Rasulullah SAW bertanya kepada Mu’az bin Jabal tentang cara menetapkan hukum apabila ada suatu kasus yang dihadapkan kepada –nya. Mu’az bin jabal mengatakan : “Apabila saya dapati dalam Al-Qur’an hukum yang terkalit dengan kasus itu, maka saya tetapkan ayat itu: apabila tidak ada dalam Al-Qur’an, saya cari dalam sunah Rasulullah SAW; dan apabila dalam sunah Rasulullah SAW juga tidak ada hukumnya maka saya akan berijtihad” (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, dan ad-Darimi).[8]
Berdasarkan ayat dan hadis , maka ulama membagi hukum ijtihad dalam tiga macam sebagai berikut:
1.      Wajib ain, bagi seorang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2.      Wajib kifayah, bagi seorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan akan hilang sementara masih ada mujtahid lain selain dirinya.
3.      Sunah, yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik ditanyakan atau tidak.
Dr. Muhammad Sallam Madkur di dalam kitabnya Manahiju al Ijtihad Fi Al-Islam menjelaskan bahwa Ijtihad dan berijtihad hukumnya adalah wajib bagi yang telah mempunyai keahlian dan memenuhi syarat-syarat ijtihad.[9]


B.     Obyek Ijtihad

 
Obyek ijtihad ialah setiap peristiwa hukum baik sudah ada ketentuan nasnya yang bersifat dzani maupun belum ada nas-nya sama sekali. Bagi peristiwa-peristiwa yang sudah ada ketentuan nasnya cara ijtihad ialah dengan jalan memahami nas dan meneliti apakah sesuatu nas bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau bersifat umum, apakah dibatasi keumuman-nya atau tidak. Bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada nas ketentuannya, maka obyek ijtihad ialah meneliti hukumnya dengan memakai qiyas, atau istihsan atau pemakaian ‘urf atau dalil-dalil hukum lainnya.
Akan tetapi lapangan qiyas hanyalah peristiwa hukum yang tidak ada nas ketentuannya. Dengan demikian, maka kita bias mengatakan bahwa qiyas merupakan salah satu bentuk dan cara ijtihad. Dari segi yang lain, ijtihad lebih luas dari pada qiyas tentu terdapat ijtihad, tetapi tidak sebaliknya, karena ijhtihad bias terjadi pada nas-nas yang bersifat dzanni atau pada penerapan aturan-umum.[10]
Hal-hal yang diijtihadkan ialah tiap-tiap hukum syara’ yang tidak ada dalilnya yang qoth’i. ijtihad adalah suatu usaha yang daruri di dalam sejarah perkembangan syari’at, karena ijtihad adlah jalan untuk mengistimbatkan hukum dari dalil, baik yaing naqly yang aqly.
Oleh karena itu tidak semua hukum Islam bisa menjadi objek ijtihad. Yang boleh menjadi obyek ijtihad antara lain:
1.      Sesuatu yang ada nash qoth’i subut tetapi dalalahnya, demikian juga ada nash zonny subut tetapi qoth’i dalalahnya.
2.      Sesuatu tidak ada nash dan belum pula ada ijma’.[11]


C.    Pendekatan Ijtihad

Pendekatan ijtihad terbagi menjadi dua kelompok yaitu Ahlur Ra’yi dan Ahul Hadits.

1.      Ahlur Ra’yi.
Dalam berijtihad, kelompok Ahlur Ra’yi sering mendahulukan pendapat akal daripada hadits-hadits ahad. Mereka sangat selektif dalam menerima hadits-hadits, khususnya jika hadits-hadits tersebut masuk dalam kategori hadits ahad.
2.      Rounded Rectangle: 6Ahlul Hadits.
Bandingan Ahlur Ra’yi adalah Ahlul Hadits. Kelompok ini lebih mendahulukan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang bersifat ahad daripada akal, jka hadits tersebut memenuhi syarat keshahihannya. Dalam menyelesaikan permasalahn yang terjadi, sedapat mungkin berusaha mencarikan nas dari Al-Qur’an atau Hadits. [12]


4.Syarat Mujtahid
Syarat-syarat yang harus bagi seorang mujtahid ada dua macam yaitu: syarat-syarat umum dan syarat-syarat kelayakan (aliyah).
1.      Syarat-syarat umum ada tiga yaitu :
a.       Islam, yang meliputi keimanan kepada Allah dengan segala sifat-sifat-Nya. Beriman kepada Rasulullah SAW dan segala wahyu dan petunjuk-petunjuk dibawanya.
b.      Baliq, ini penting karena anak yang belum baliq, belum dapat dijadikan sandaran hukum atas kata-katanya, sehingga belum dibebani suatu tanggung jawab (belum mulallaf).
c.       Berakal, karena akal itulah yang merupakan dasar taklifi.[13]

2.      Syarat-syarat aliyah (kelayakan) :
Adapun syarat-syarat yang wajib dimiliki orang-orang yang akan memasuki pintu ijtihad adlah :
a.       Mengetahui bahasa arab
Para ulama ushul sepakat bahwa pengetahuan tenyang bahasa Arab adalah dharuri (wajib mutlak) bagi setiap orang mujtahid, karena Al Qur’an yang merupakan sumber utama syariat Islam adalah bahasa Arab, demikian juga Sunnah Rasulullah SAW yang merupakan penjelasan bagi Al Qur’an adalah bahasa Arab.


b.      Mengetahui Al Qur’an dan ilmu-ilmunya
Oval: 7Diantara syarat yang terpenting bagi orang mujtahid ialah, mengetahui Kitabullah (Al Qur’an). Ia adalah sandaran utama hukum-hukum Islam, dan sumber pokok bagi ijtihad. Oleh sebab itu harus mengetahui maknanya, baik lugawi, maupun syar’i, dan illat yang berkaitan dengan hukum-hukum, serta tujuan-tujuan yang akan diwujudkan oleh Syara’, untuk mendatangkan maslahat bagi manusia, dan mencegah mafsadah dari mereka.
Selain daripada itu, seorang mujtahid harus mendalami ulumul Qur’an misalnya :
1.      Asbabun nuzul
2.      Nasikh dan mansukh
3.      Makkiyah dan madaniyah
4.      Al ’am dan Al Khash
5.      Mutlak dan muqayyad
6.      Muhkam dan mutasyabih
c.       Mengetahui Sunnah Nabawiyah
Mengetahui sunnah, beratti mengetahui seluk-beluk hadist, yang meliputi: pengetahuan tentang arti mufradatnya, tarkibnya, makna dialah kalimatnya, dan mengetahui pula ilmu mushtalahnya, untuk mengenal maratib (tingkatan) hadist ; kuat, lemah sanadnya, shahih atau dhaif, dan nasikh serta mansukhnya.
d.      Mengetahui Ilmu Ushulfiqhi
Wajib bagi mujtahid mengetahui “Ilmu Ushulilfiqhi” ykni, kaedah umum pada ushul fiqhi, untuk mengenal hakikat hukum, dalil-dalil, dan syarat-syaratnya, aspek dilalah dan aspek tarjihnya diantara dalil, ketika terjadi kontradiksi, dan mengetahui nasikh dan mansukh, syarat-syarat nasakh, dan cara mengeluarkan hukum daripadanya.
e.       Mengetahui letak ijma’ dan letak ikhtilaf
Bahwasannya pengetahuan tentang letak ijma’ dan mengetahui hukum-hukum yang tetap pada prinsip ini, adalah dharuri bagi mujtahid. Dengan mengetahuin ini, ia tidak akan berijtihad pada masalah yang telah disepakati dan memang tiada ijma’ pada masalah yang telah disepakati hukumnya.
f.       Mengetahui maksud (tujuan) hukum
Kita telah mengetahui, bahwa tujuan hukum dalam syariat Islam adalah rahmat kepada hamba (manusia) dan itulah puncak risalah Nabi Muhammad SAW.
Memahami maksud (tujuan syari’ah) secara sempurna. Bahwasannya maksud   syari’ah itu dibina dengan ketentuan, bahwa masalah Islam itu adalah tujuan hakiki.
g.      Niat baik dan Akidah yang benar
Sesungguhnya niat yang ikhlas itu membuat hati seseorang bercahaya dengan percikan cahaya dari Allah SWT sehingga ia dapat menembus inti agama Islam, lalu mengarah kepada hakikat agama. Bahwasannya Allah SWT meletakkan hikmah di dalam hati orang yang ikhlas, sehingga ia mudah mendapat petunjuk kepada kebaikan dan menghindari maksiat dan mungkar. [14]
Oval: 8            Persyaratan-persyaratan yang disebutkan diatas merupakan persyaratan intelektual yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Di samping itu, dalam literature ushul fiqh ulama juga memberikan syarat yang terkait dengan integrasi pribadi seperti beriman, dewasa, berakal sehat serta memiliki pemahaman yang mendalam dan tajam. Muhammad Musa at-Tiwana menyebut persyaratan intelektual dan persyaratan umum. Maka ijtihad yang dihasilkannya dapat dipertanggungjawabkan secara agama. Dengan demikian, berijtihad berdasarkan hawa nafsu dan subjektivitas pribadi (ijtihad bi at-tasyahhi) dapat dihindari.





























Oval: 9
 


KESIMPULAN

Pengertian Ijtihad menurut istilah hukum islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut  merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah barang tentu cara ini tidak disebut ijtihad.
Dasar hukum ijtihad mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan hadis
Adapun dasar hukum ijtihad dalam sunah adalah sabda Rasulullah SAW. “apabila seorang hakim (akan) menetapkan hukum lalu ia berijtihad dan ijtihadnya itu salah, maka ia mendapat dua pahala. Apabila seorang hakim (akan) menetapkan hukum lalu ia berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hanbal, an-Nasa’I, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Amir bin AS).
Berdasarkan ayat dan hadis, maka ulama membagi hukum ijtihad dalam tiga macam sebagai berikut:
1.      Wajib ain, bagi seorang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2.      Wajib kifayah, bagi seorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan akan hilang sementara masih ada mujtahid lain selain dirinya.
3.      Sunah, yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik ditanyakan atau tidak.

Objek ijtihad ialah setiap peristiwa hukum baik sudah ada ketentuan nasnya yang bersifat dzani maupun belum ada nas-nya sama sekali.


Pendekatan ijtihad terbagi menjadi dua kelompok yaitu Ahlur Ra’yi dan Ahul Hadits.
1.      Ahlur Ra’yi.
10
 
Dalam berijtihad, kelompok Ahlur Ra’yi sering mendahulukan pendapat akal daripada hadits-hadits ahad. Mereka sangat selektif dalam menerima hadits-hadits, khususnya jika hadits-hadits tersebut masuk dalam kategori hadits ahad.
2.      Ahlul Hadits.

Bandingan Ahlur Ra’yi adalah Ahlul Hadits. Kelompok ini lebih mendahulukan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang bersifat ahad daripada akal, jka hadits tersebut memenuhi syarat keshahihannya. Dalam menyelesaikan permasalahn yang terjadi, sedapat mungkin berusaha mencarikan nas dari Al-Qur’an atau Hadits
Syarat-syarat yang harus bagi seorang mujtahid ada dua macam yaitu: syarat-syarat umum dan syarat-syarat kelayakan (aliyah).
1.      Syarat-syarat umum ada tiga yaitu :
a.       Islam
b.      Baliq
c.       Berakal

2.      Syarat-syarat aliyah (kelayakan) :
a.       Mengetahui bahasa arab
b.      Mengetahui Al Qur’an dan ilmu-ilmunya
c.       Mengetahui Sunnah Nabawiyah
d.      Mengetahui Ilmu Ushulfiqhi
e.       Mengetahui letak ijma’ dan letak ikhtilaf
f.       Mengetahui maksud (tujuan) hukum
















Oval: 11
 


PENUTUP

            Alhamdulillah penulis haturkan atas kehadirat ALLAH SWT. Yang senantiasa mencurahkan rahmat,hidayah,serta nikmat dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan makalah ini,semua ini disebabkan karena keterbatasan pengalaman dan pengetahuan penulis harapkan demi perbaikan makalah ini.
 Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,baik moril maupun material,hingga terselesainya makalah ini.Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca umumnya,semoga Allah SWT.Melindungi kita semua,Amin.
















12
 
 


DAFTAR PUSTAKA

Abdul  Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1997
Khairul Umam, Ushul Fiqh II, Bandung, 1998
Muhammad Dja’far, Pengantar Ilmu Fiqhi, Malang, 1992
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Yogyakarta, 1966
Muhammad Yasin Salim,  Ijtihad, Bandar Lampung, 1994


[1] Abdul Aziz Dahlan,Ensiklopedia Hukum Islam,Jakarta,PT.Ichtiar Baru Van Houve, 1997,hlm 669
[2] Ibid.,669
[3]  Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fiqhi, Kalam Mulia, Malang, 1992, hlm. 101
[4] Khairul Uman, Ushul Fiqih II, Bandung, 1998, hlm. 131
[5] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Yogyakarta, 1966, hlm 162
[6] Yasin Halim, Ijtihad, Bandar Lampung, 1994, hlm 6
[7] Khairul Uman, Loc.Cit
[8] Abdul Aziz Dahlan, Loc.Cit
[9] Khairul Uman, Loc.Cit
[10] Ahmad Hanafi, Loc.Cit
[11] Yasin Halim, Op.Cit, hlm 14
[12] Abdul Aziz Dahlan, Op.Cit, hal.79              
[13] Muhammadiyah Djafar, Op.Cit, hlm 104
[14] Ibid., hlm. 104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar