PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hukum sebagai realisasi salah satu
bentuk hubungan antara manusia, terdapat di mana-mana dalam pergaulan antara
manusia. Inilah salah satu cirri yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya.
Sewaktu Allah menanamkan kedalam
jiwa manusia daya berfikir dan merenung maka ditanamkannya dari suatu
kekagumannya terhadap alam ini, dan di segi lain kecemasannya terhadap
kekuasaan alam dan kekuasaannya.
Sebelum Islam, seluruh agama
peranannya hanya terbatas pada mensucikan jiwa dan meningkatkan kedudukan
manusia ke tarap yang berbeda dari hewan-hewan lainnya. Berbeda dengan syari’at
Islam, di dalam syari’at Islam terdapat dua bidang yang mempunyai pembahasan yang
terpisah, dalam banyak hal yang diatur oleh undang-undang yang berbeda atau
berlainan yaitu bidang ibadah dan bidang mu’amalah.
Sebagaimana diketahui bahwa syari’at
Islam adalah universal. Dengan sifat
universalnya itu berate cocok (sesuai dan selaras) buat manusia dimanapun
mereka berada. Untuk membuktikan keuniversalan itu kita harus menggunakan ijtihad, karena dengan berijhtihad kita
dapat menyesuaikan dan menyelaraskan keadaan dan tempat dengan patokan-patokan
umum yang dikandung syari’at Islam.
Kita tentu menyadari bahwa
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh manusia senantiasa berubah tidak
henti-hentinya, lebih-lebih pada masa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini, asal kita mau berijhtihad semua persoalan yang timbul
dengan mudah akan terjawab.
Permasalahannya yqng timbul sampai
sekarang masih ada saja, ada orang yang beranggapan bahwa pintu ijhtihad telah
tertutup. Sebenarnya angapan itu hanya mengunyah-ngunyah
istilah tanpa mengetahui artinya. Orang mengatakan hari ini mujtahid
muthlaq telah tiada, tanpa mengetahui perbedaan antara mujtahid mustaqil dan mujtahid
muthlaq, muqayyad juga mujtahid
muntasib.

B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian yang telah penulis ungkapkan di latar
belakang diatas, maka yang akan menjadi permasalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Definisi
Ijtihad dan Hukumnya
2. Obyek
Ijtihad
3. Pendekatan
Ijtihad
4. Syarat
Mujtahid
![]() |
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ijtihad dan dasar hukumnya
Ijtihad
(Ar.: al-ijtihad; berasal dari kata
jahada = mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban). Usaha sunguh-sungguh
yang dilakukan seorang mujtahid untuk mencapai suatu putusan syarak (hukum
islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Qur’an dan
sunah Rasulullah.[1]
Ada
beberapa rumusan ijtihad yang dikemukakan ulama. Perbedaan definisi pada
umumnya berawal dari pendekatan yang digunakan. Bagi ulama yang melakukan
pendekatan melalui pemikiran non politik dan integral, ijtihad diartikan dengan
“segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, seperti
fikih, teologi, filsafat, dan tasawuf”. Adapun ulama usul fikih melihat ijtihad
sebagai aktivitas nalar yang berkaitan dengan masalah fikih. Oleh karena itu,
mereka berpendapat bahwa upaya memahami masalah-masalah teologi, filsafat, dan
tasawufdari nas tidak dinamakan sebagai aktivitas ijtihad. Akan tetapi ulama
usul fikih ini dalam dalam merumuskan ijtihad secara terminologis tidak terlalu
tajam, pada gilirannya perbedaan tersebut berpengaruh terhadap kedudukan dan
bidang kajian ijtihad. [2]
Menurut
istilah, para Ulama Ushul memberikan banyak definisi yang berbeda dalam
redaksinya, namun mereka sepakat dalam hakikat dan tujuannya, diantaranya kami
kemukakan sebagai berikut :
1. Menurut
Al Ghazali, ialah orang mujtahid mencurahkan maksimal kemampuannya, dalam
mencari ilmu tentang hukum syari’at.
2. Menurut
Ibnul Hajib ialah adanya fiqhi mencurahkan kemampuannya untuk memperoleh suatu
pengertian “dzanni” pada hukum syari’i.
3. Menurut
Al Kamal ibnu Humam ialah pencurahan kemampuan dari ahli fiqhi (faqih) untuk
memperoleh hukum syar’i baik akli maupun nakli, qate’I, atau dzanni. [3]
Ijtihad artinya
mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari
dalil-dalilnya.[4]


Syari’at
Islam adalah suatu hukum ke-Tuhanan, dan ijtihad disini merupakan jalan untuk
mendapatkan ketentuah-ketentuan hukum dari dalil-dalil itu dan sebagai suatu bcara
untuk memberikan ketentuan hukum yang timbul karena tuntutan kepoentingan dalam
mu’amalah. Itulah sebabnya di dalam sejarah perkembangan hukum Islam, ijtihad
ini menjadi suatu keharusan praktis.[6]
Ahli
tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalah qiyas untuk mengeluarkan (istinbat) hukum dari kaidah-kaidah syara’
yang umum.
Hasby
Ash Shiddiqi mengemukakan bahwa ijtihad adalah
”menggunakan segala kesanggupan untuk
mencari suatu hukum syara’ dengan jalan zhan.”
Adapun
ijtihad dalam bidang putusan hakim
(pengadilan) adalah jalan yang diikuti hakim dalam menetapkan hukum, baik yang
berhubungan dengan teks undang-undang maupun dengan mengistimbatkan hukum wajib
ditetapkan ketika ada nash.
Bagi
peristiwa yang sudah ada ketentuan nashnya cara ijtihad adalah dengan jalan
memahami nash dan meneliti apakah nash itu bersifat khusus atau umum, dan kalau
bersifat umum, apakah dibatasi keumumannya atau tidak. Sedangkan bagi ijtihad
yang tidak ada ketentuan nashnya, maka obyek ijtihad ialah memahami dan
meneliti hukumnya dengan memakai qiyas,
istihsan, maslahah mursalah, istishab, urf dan dalil-dalil hukum lainnya.[7]
a.
Dasar
Hukum Ijtihad

Menurut
Imam al-Bazdawi (ahli usul fikih Mazhab Hanafi), Imam al-Amidi dan Imam
asy-Syatibi, ayat ini mengandung pengakuan terhadap eksistensi ijtihad melalui
kias (analogi). Kemudian dalam surah an-Nisa’ (94) ayat 59 Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya)…”
Menurut
Ali Hasaballah (ahli usul fikih dari Mesir), kalimat “kembalikan kepada Allah
dan Rasul” dalam ayat tersebut menujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah dalam
membahas persoalan-persoalan yang kadang kala sulit dipahami; penerapan kaidah
umum yang diinduksi dari nas secara analogi; atau upaya untuk mencapai
tujuan-tujuan syarak dalam menetapkan hukum. Semua itu termasuk dalam
“mengembalikan seluruh persoalan kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Adapun dasar hukum ijtihad dalam sunah adalah sabda
Rasulullah SAW. “apabila seorang hakim (akan) menetapkan hukum lalu ia
berijtihad dan ijtihadnya itu salah, maka ia mendapat dua pahala. Apabila
seorang hakim (akan) menetapkan hukum lalu ia berijtihad, dan ijtihadnya salah,
maka ia mendapat satu pahala” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hanbal,
an-Nasa’I, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Amir bin AS). Hadis lain adalah hadis
yang intinya menceritakan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’az bin Jabal
(603-639;salah seorang sahabat) ketika diutus ke Yaman sebagai kadi. Pada waktu
itu Rasulullah SAW bertanya kepada Mu’az bin Jabal tentang cara menetapkan
hukum apabila ada suatu kasus yang dihadapkan kepada –nya. Mu’az bin jabal
mengatakan : “Apabila saya dapati dalam Al-Qur’an hukum yang terkalit dengan
kasus itu, maka saya tetapkan ayat itu: apabila tidak ada dalam Al-Qur’an, saya
cari dalam sunah Rasulullah SAW; dan apabila dalam sunah Rasulullah SAW juga
tidak ada hukumnya maka saya akan berijtihad” (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, dan
ad-Darimi).[8]
Berdasarkan ayat dan hadis , maka ulama membagi
hukum ijtihad dalam tiga macam sebagai berikut:
1. Wajib ain,
bagi seorang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum diketahui
hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang
dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2.
Wajib
kifayah, bagi seorang yang ditanya tentang
suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan akan hilang sementara masih ada
mujtahid lain selain dirinya.
3.
Sunah,
yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik ditanyakan atau
tidak.

B.
Obyek
Ijtihad
|
Akan
tetapi lapangan qiyas hanyalah peristiwa hukum yang tidak ada nas ketentuannya.
Dengan demikian, maka kita bias mengatakan bahwa qiyas merupakan salah satu
bentuk dan cara ijtihad. Dari segi yang lain, ijtihad lebih luas dari pada
qiyas tentu terdapat ijtihad, tetapi tidak sebaliknya, karena ijhtihad bias
terjadi pada nas-nas yang bersifat dzanni atau pada penerapan aturan-umum.[10]
Hal-hal
yang diijtihadkan ialah tiap-tiap hukum syara’ yang tidak ada dalilnya yang
qoth’i. ijtihad adalah suatu usaha yang
daruri di dalam sejarah perkembangan syari’at, karena ijtihad adlah jalan untuk
mengistimbatkan hukum dari dalil, baik yaing naqly yang aqly.
Oleh
karena itu tidak semua hukum Islam bisa menjadi objek ijtihad. Yang boleh
menjadi obyek ijtihad antara lain:
1. Sesuatu
yang ada nash qoth’i subut tetapi dalalahnya, demikian juga ada nash zonny
subut tetapi qoth’i dalalahnya.
2. Sesuatu
tidak ada nash dan belum pula ada ijma’.[11]
C.
Pendekatan
Ijtihad
Pendekatan
ijtihad terbagi menjadi dua kelompok yaitu Ahlur Ra’yi dan Ahul Hadits.
1. Ahlur
Ra’yi.
Dalam
berijtihad, kelompok Ahlur Ra’yi sering mendahulukan pendapat akal daripada
hadits-hadits ahad. Mereka sangat selektif dalam menerima hadits-hadits,
khususnya jika hadits-hadits tersebut masuk dalam kategori hadits ahad.
2.
Ahlul
Hadits.

Bandingan
Ahlur Ra’yi adalah Ahlul Hadits. Kelompok ini lebih mendahulukan hadits-hadits
Nabi Muhammad SAW yang bersifat ahad daripada akal, jka hadits tersebut
memenuhi syarat keshahihannya. Dalam menyelesaikan permasalahn yang terjadi,
sedapat mungkin berusaha mencarikan nas dari Al-Qur’an atau Hadits. [12]
4.Syarat Mujtahid
Syarat-syarat
yang harus bagi seorang mujtahid ada dua macam yaitu: syarat-syarat umum dan
syarat-syarat kelayakan (aliyah).
1. Syarat-syarat
umum ada tiga yaitu :
a. Islam,
yang meliputi keimanan kepada Allah dengan segala sifat-sifat-Nya. Beriman
kepada Rasulullah SAW dan segala wahyu dan petunjuk-petunjuk dibawanya.
b.
Baliq, ini
penting karena anak yang belum baliq, belum dapat dijadikan sandaran hukum atas
kata-katanya, sehingga belum dibebani suatu tanggung jawab (belum mulallaf).

c. Berakal,
karena akal itulah yang merupakan dasar taklifi.[13]
2. Syarat-syarat
aliyah (kelayakan) :
Adapun
syarat-syarat yang wajib dimiliki orang-orang yang akan memasuki pintu ijtihad
adlah :
a. Mengetahui
bahasa arab
Para ulama ushul sepakat bahwa
pengetahuan tenyang bahasa Arab adalah dharuri (wajib mutlak) bagi setiap orang
mujtahid, karena Al Qur’an yang merupakan sumber utama syariat Islam adalah
bahasa Arab, demikian juga Sunnah Rasulullah SAW yang merupakan penjelasan bagi
Al Qur’an adalah bahasa Arab.
b. Mengetahui
Al Qur’an dan ilmu-ilmunya

Selain daripada itu, seorang mujtahid
harus mendalami ulumul Qur’an misalnya :
1. Asbabun
nuzul
2. Nasikh
dan mansukh
3. Makkiyah
dan madaniyah
4. Al
’am dan Al Khash
5. Mutlak
dan muqayyad
6. Muhkam
dan mutasyabih
c. Mengetahui
Sunnah Nabawiyah
Mengetahui sunnah, beratti mengetahui
seluk-beluk hadist, yang meliputi: pengetahuan tentang arti mufradatnya,
tarkibnya, makna dialah kalimatnya, dan mengetahui pula ilmu mushtalahnya,
untuk mengenal maratib (tingkatan) hadist ; kuat, lemah sanadnya, shahih atau
dhaif, dan nasikh serta mansukhnya.
d. Mengetahui
Ilmu Ushulfiqhi
Wajib bagi mujtahid mengetahui “Ilmu
Ushulilfiqhi” ykni, kaedah umum pada ushul fiqhi, untuk mengenal hakikat hukum,
dalil-dalil, dan syarat-syaratnya, aspek dilalah dan aspek tarjihnya diantara
dalil, ketika terjadi kontradiksi, dan mengetahui nasikh dan mansukh,
syarat-syarat nasakh, dan cara mengeluarkan hukum daripadanya.
e. Mengetahui
letak ijma’ dan letak ikhtilaf
Bahwasannya pengetahuan tentang letak
ijma’ dan mengetahui hukum-hukum yang tetap pada prinsip ini, adalah dharuri
bagi mujtahid. Dengan mengetahuin ini, ia tidak akan berijtihad pada masalah
yang telah disepakati dan memang tiada ijma’ pada masalah yang telah disepakati
hukumnya.
f. Mengetahui
maksud (tujuan) hukum
Kita telah mengetahui, bahwa tujuan
hukum dalam syariat Islam adalah rahmat kepada hamba (manusia) dan itulah
puncak risalah Nabi Muhammad SAW.
Memahami
maksud (tujuan syari’ah) secara sempurna. Bahwasannya maksud syari’ah itu dibina dengan ketentuan, bahwa
masalah Islam itu adalah tujuan hakiki.
g. Niat
baik dan Akidah yang benar
Sesungguhnya niat yang ikhlas itu
membuat hati seseorang bercahaya dengan percikan cahaya dari Allah SWT sehingga
ia dapat menembus inti agama Islam, lalu mengarah kepada hakikat agama.
Bahwasannya Allah SWT meletakkan hikmah di dalam hati orang yang ikhlas,
sehingga ia mudah mendapat petunjuk kepada kebaikan dan menghindari maksiat dan
mungkar. [14]


![]() |
KESIMPULAN
Pengertian
Ijtihad menurut istilah hukum islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran)
untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan
dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil syara’ dan tanpa cara-cara
tertentu tersebut, maka usaha tersebut
merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah barang
tentu cara ini tidak disebut ijtihad.
Dasar
hukum ijtihad mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan hadis
Adapun
dasar hukum ijtihad dalam sunah adalah sabda Rasulullah SAW. “apabila seorang
hakim (akan) menetapkan hukum lalu ia berijtihad dan ijtihadnya itu salah, maka
ia mendapat dua pahala. Apabila seorang hakim (akan) menetapkan hukum lalu ia
berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala” (HR.
al-Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hanbal, an-Nasa’I, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari
Amir bin AS).
Berdasarkan
ayat dan hadis, maka ulama membagi hukum ijtihad dalam tiga macam sebagai
berikut:
1. Wajib ain,
bagi seorang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum diketahui
hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang
dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2.
Wajib
kifayah, bagi seorang yang ditanya tentang
suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan akan hilang sementara masih ada
mujtahid lain selain dirinya.
3.
Sunah,
yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik ditanyakan atau
tidak.
Objek ijtihad ialah setiap peristiwa hukum baik
sudah ada ketentuan nasnya yang bersifat dzani maupun belum ada nas-nya sama sekali.
Pendekatan
ijtihad terbagi menjadi dua kelompok yaitu Ahlur Ra’yi dan Ahul Hadits.
1. Ahlur
Ra’yi.
|
2. Ahlul
Hadits.
Bandingan Ahlur Ra’yi adalah Ahlul Hadits. Kelompok
ini lebih mendahulukan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang bersifat ahad
daripada akal, jka hadits tersebut memenuhi syarat keshahihannya. Dalam
menyelesaikan permasalahn yang terjadi, sedapat mungkin berusaha mencarikan nas
dari Al-Qur’an atau Hadits
Syarat-syarat
yang harus bagi seorang mujtahid ada dua macam yaitu: syarat-syarat umum dan
syarat-syarat kelayakan (aliyah).
1. Syarat-syarat
umum ada tiga yaitu :
a. Islam
b. Baliq
c. Berakal
2. Syarat-syarat
aliyah (kelayakan) :
a. Mengetahui
bahasa arab
b. Mengetahui
Al Qur’an dan ilmu-ilmunya
c. Mengetahui
Sunnah Nabawiyah
d. Mengetahui
Ilmu Ushulfiqhi
e. Mengetahui
letak ijma’ dan letak ikhtilaf
f.
Mengetahui
maksud (tujuan) hukum

![]() |
PENUTUP
Alhamdulillah penulis haturkan atas kehadirat ALLAH
SWT. Yang senantiasa mencurahkan rahmat,hidayah,serta nikmat dan kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari masih
banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan makalah ini,semua ini
disebabkan karena keterbatasan pengalaman dan pengetahuan penulis harapkan demi
perbaikan makalah ini.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu,baik moril maupun material,hingga
terselesainya makalah ini.Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan bagi
pembaca umumnya,semoga Allah SWT.Melindungi kita semua,Amin.
|
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1997
Khairul
Umam, Ushul Fiqh II, Bandung, 1998
Muhammad
Dja’far, Pengantar Ilmu Fiqhi, Malang,
1992
Ahmad
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum
Islam, Yogyakarta, 1966
Muhammad Yasin Salim, Ijtihad,
Bandar Lampung, 1994
[2] Ibid.,669
[4] Khairul Uman, Ushul Fiqih II, Bandung, 1998, hlm. 131
[5] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan
Bintang, Yogyakarta, 1966, hlm 162
[7] Khairul Uman, Loc.Cit
[8] Abdul Aziz Dahlan, Loc.Cit
[9] Khairul Uman, Loc.Cit
[10] Ahmad Hanafi, Loc.Cit
[11] Yasin Halim, Op.Cit, hlm 14
[13] Muhammadiyah Djafar, Op.Cit, hlm 104
[14] Ibid., hlm. 104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar