PEMBAHASAN
1.
Activity- Based Costing (ABC)
1.1.
Pengertian
ABC atau penentuan harga pokok
produk berbasis aktivitas merupakan sistim informasi tentang pekerjaan (atau
kegiatan) yang mengkonsumsi sumber daya dan menghasilkan nilai bagi konsumen.
Definisi lain ABC adalah suatu informasi yang dapat menyajikan secara
akurat dan tepat waktu mengenai pekerjaan (aktivitas) yang mengkonsumsi sumber
Biaya aktivitas) untuk mencapai tujuan pekerjaan (produk dan pelanggan). ABC
dirancang untuk mengukur harga pokok
produk melalui aktivitas-aktivitas. Biaya-biaya akan diukur dari
aktivitas-aktivitas ke produk berdasarkan permintaan tiap-tiap produk terhadap
aktivitas selama proses produksi, sehingga biaya-biaya yang timbul
masing-masing jenis produk akan terlihat lebih jelas. Sistem tersebut menerapkan
konsep-konsep akununtansi aktivitas untuk menghasilkan perhitungan harga pokok
produk yang lebih akurat.
Hal ini dapat dipahami dari definisi
berikut Activity Based Costing adalah system akumulasi dan alokasi biaya
yang menelusur biaya-biaya ke produk menurut aktivitas-aktivitas yang dilakukan
terhadap produk, yang dimaksud untuk menghasilkan informasi biaya bagi
keputusan strategis, perancangaqdan pengendaliaan operasional. Sistem penentuan
harga pokok berbasis aktivitas ini merupakan system pertama yang menelusur
biaya-biaya melalui aktivitas yang telah dikonsumsi produk.
Dalam ABC, proses identifikasi
aktivitas merupakan salah satu bagian peting dari tahapan perbebanan biaya
overhead pabrik. Tahap pertama pada identifikasi aktivitas, aktivitas yang luas
dikelompokan ke dalam empat kategori aktivitas, yaitu:
1.
Unit - level
activities
Berupa aktivitas atau kegiatan yang
dilakukan sekali untuk setiap unit sehingga biaya produksi yang
berhubungan dengan aktivitas dibebankan berdasarkan jumlah unit yang diproduksi.
Misalnya jam tenaga keja langsung. Semakin banyak jumlah unit yang diproduksi
semakin banyak juga tenaga kerja langsung yang dibutuhkan.
2.
Batch - level activities
Sering juga disebut set - up related
activities, yaitu berupa aktivitas atau kegiatan yang dilakukan untuk mendukung
produksi sejumlah order tertentu (batch). Aktivitas ini dilakukan sekali untuk
setiap batch sehingga biaya produksi yang berhubungan dengan aktivitas ini
dibebankan berdasarkan jumlah batch yang diproduksi. Misalnya biaya set up
mesin. Semakin banyak unit yang diproduksi tidak mempengd biaya pada aktivitas
set up, tetapi semakin sering set up dilakukan maka semakin bear pula biaya set
up rnesin.
3.
Product-sustaning activities
Berupa aktivitas atau kegiatan yang
dilakukan untuk mempertahankan eksistensi suatu produk, pemeliharaan produk,
pengembangan produk dan inovasi produk. Beban biaya yang terjadi pada aktivitas
ini dapat ditlusuri pada setiap jenis produk yang dihasilkan, tetapi sumber
daya yang dikonsurnsi tidak tergantung pada jumlah unit ataupun batch dari
prod& yang dihasikan perusahaan. Semakin banyak jenis produk yang
dihasilkan semakin sering aktivitas ini dilakukan sehingga semakin besar biaya
yang dibutuhkannya.
4.
Facility - sustaning activities
Berupa aktivitas atau kegiatan yang
dilakukan untuk mempertahkan eksistensi perusahaan, seperti pemasaran, sumber
daya manusia, pengembangan sistem, pemeliharaan fasilitas dan lain-lain. Tetapi
aktivitas ini tidak berhubungan dengan jumlah produk, batch, maupun jenis
produk.
1.2.
Manfaat ABC
Manfaat yang dihasilkan oleh perusahaan yang menerapkan ABC adalah:
1)
Memperbaiki mutu pengambilan keputusan
Kemarnpuan
ABC menghasilkan informasi biaya produksi yang lebih teliti dapat mengurangi
kemungkinan manajemen melakukan pengambilan keputusan yang salah. Informasi
biaya produksi yang lebih teliti sangat penting artinya bagi manajemen jika
perusahaan menghadapi persaingan yang sangat tajam.
2)
Memungkinkan Manajemen Melakukan Perbaikan Terus-Menerus Terhadap
Kegiatan Untuk Mengurangi Biaya Overhead.
ABC
megidentifikasi biaya overhead kegiatan yang menimbukan biaya tersebut. Dengan
demikian informasi biaya yang dihasilkan oleh ABC dapat digunakan oleh
manajemen untuk memantau secara terus-menerus berbagai kegiatan yang digunakan
oleh perusahaan untuk menghasilkan produk dan melayani konsumen. Perbaikan
berbagai kegiatan untuk menghasilkan produk dan penghilangan kegiatan yang
tidak bernilai tambah bagi konsumen dapat dipertimbangkan oleh manajemen
berdasarkan informasi biaya yang disajikan dengan ABC.
3)
Memberikan Kemudahan Dalam Penentuan Biaya Relevan
ABC menyediakan informasi biaya yang
dihubungkan dengan berbagai kegiatan untuk menghasilkan produk, sehingga
manajemen akan memperoleh kemudahan dalam mendapatkan informasi yang relevan dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut berbagai kegiatan bisnis mereka. Jika
misalnya manajemen mempertimbangkan untuk melakukan perbaikan dalam kegiatan
set up fasilitas produksi, ABC mampu dengan cepat menyediakan informasi batch
related activities cost sehingga memungkinkan manajemen mempertimbangkan akibat
keputusan mereka terhadap konsumsi sumber daya untuk kegiatan tersebut.
1.3.
Perbandingan ABC Dengan Sistem Biaya Tradisional
Perbedaan antara sistem ABC dengan sistem kalkulasi biaya
tradisional adalah :
a. ABC menggunakan aktivitas-aktivitas
sebagai pemacu biaya untuk menetukan berapa besar setiap overhead tidak
langsung dari setiap produk yang digunakan oleh produk tersebut. sistem
tradisional mengalokasikan overhead secara arbirer berdasarkan satu atau
dua alokasi yang non representatif.
b. ABC mengkonsurnsi overhead yang
dapat dibagi ke dalam empat kategori: unit, batch, produk dan penopang
fasilitas (fimility substaining), sedangkan sistem tradisional membagi
biaya overhead ke dalam unit dan biaya yang lainnya.
c. Fokus ABC adalah pada biaya, mutu
dan faktor waktu, sedangkan system tradisional memfokuskan pada kinerja
keuangan jangka pendek seperti laba yang akurat. Untuk itu ABC memerlukan
masukan dari seluruh departemen yang ada. Harga pokok tradisional dalam
menetapkannya diletakkan begitu saja, sementara Activity Based Costing menelusuri
biaya berdasarkan hubungan sebab akibat. Untuk lebih akuratnya ABC dalam
mengkalsifikasikan biaya overhead yang ada, maka Kaplan dan Cooper
membaginya sebagai berikut :
1. Biaya variabel jangka pendek (short term variable costs).
2. Biaya variabel
jangka panjang (long term variable costs).
3. Biaya tetap (fined
costs).
1.4.
Pemacu Biaya (Cost Driver )
Pemacu biaya adalah penyebab terjadinya biaya, sedangkan aktivitas
adalah dampaknya. Dalam sistem ABC digunakan beberapa macam pemacu biaya sedangkan
pada sistem biaya konvensional hanya digunakan satu pemacu biaya tertentu
sebagai basis, misalnya jam orang, jam mesin, atau rupiah tenaga kerja.
Beberapa pemacu biaya yang sering dipakai antara lain :
1. Kelompok tenaga kerja (labor
group) : rupiah tenaga kerja, jam tenaga kerja, rupiah tenaga
kerja langsung, jam tenaga kerja langsung.
Kelompok ini dipakai pada aktivitas
yang elemen biaya utamanya adalah tenaga kerja atau pada aktivitas yang biaya
aktivitasnya berubah secara paralel dengan perubahan tenaga kerja. Rupiah
tenaga kerja sering dipakai sebagai pemacu biaya asuransi kompensasi tenaga
kerja. Pada beberapa instansi, jam tenaga kerja dipakai sebagai pemacu
kontribusi pensiun. Jam tenaga kerja juga dapat memacu konsumsi utilitas.
2. Kelompok waktu operasi (operating
time group) : cell time, line time, machine
time, cycle
time.
Dipakai sebagai pemacu. biaya pada
satu grup operasi pengerjaan yang merupakan operasi dari suatu peralatan
tunggal atau beberapa peralatan. Jenis pemacu biaya ini dapat dibagi menjadi
dua subgrup, yaitu machine hour/ cycle time dan line/cell time.
3. Kelompok throughput
(throughput group) : potong, galon, satu muatan truk, satu muatan tanker,
ton.
Dipakai sebagai pemacu biaya bila
biaya utama dari suatu aktivitas ditentukan oleh jumlah unit throughputnya.
Sebagai contoh, bahan kimia tertentu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan
kimia selalu diukur dalam satuan batch. Satu batch bahan kimia ini lalu dipacking dalam satuan tanker loads, drum 55
galon, dan karton satu galon. Proses packing ini dapat dipisahkan sebagai tiga aktivitas
dengan unit throughput (tanker loads, drum 55 galon, dan karton satu galon)
masing-masing sebagai pemacu biaya.
4. Kelompok pemilikan (occupancy
group) : ukuran pabrik, lokasi peralatan, nilai
peralatan.
Merupakan pemacu biaya yang dapat
untuk mendistribusikan biaya tetap fixed cost) berdasarkan lokasi aktivitas
atau aset. Sebagai contoh, depresi bangunan, pajak bangunan, pemeliharaan
eksterior atau pelayanan keamanan, didistribusikan berdasarkan luas areal per
aktivitas. Depresiasi peralatan atau biaya sewa guna didistribusikan pada
aktivitas yang terjadi di lokasi asset tersebut. Kelompok pemacu ini jarang
dipakai sebagai dasar untuk penentuan berapa biaya yang terjadi (how much
cost), tetapi sering dipakai untuk menentukan dimana biaya didistribusikan
(where-to distribution).
5. Permintaan (demand)
: perawatan mesin (maintenance)
Dipakai sebagai pemacu bila distribusi
biaya pada aktivitas lain atau pada tujuan biaya didasarkan pada permintaan
akan aktivitas tersebut. Contohnya adalah perawatan, biaya penawaran akan
didistribusikan pada aktivitas atau tujuan biaya yang memerlukan pelayanan
perawatan saja. Distribusi biaya yang akurat akan didapat berdasarkan estimasi
atau permintaan aktual perawatan. Sama seperti kelompok occupancy, kelompok permintaan
ini jarang dipakai untuk menentukan berapa biaya yang terjadi, lebih sering
dipakai untuk menentukan dimana biaya harus didistribusikan.
6. Surrogate cost driver : pemasaran,
akunting, pembelian
Surrogate cost driver merupakan data
atau ukuran yang sudah tersedia di lapangan dan praktis untuk dipakai
mendistribusikan suatu biaya ke aktivitas lain atau departemen lain, apabila
pemacu biaya yang secara teoritis benar (ideal) sulit diukur datanya. Ada
beberapa aktivitas yang pemacu biayanya sulit dan tidak praktis untuk diukur
ataupun pemacu biayanya sulit ditentukan dengan tepat. Contohnya adalah
production control, accounting, general management, dan marketing. Contoh
pemacu biaya ini adalah biaya material (material cost) dan biaya konversi
(conversion cost) . Kedua pemacu biaya ini sering dipakai pada perusahaan kecil
dan menengah.
Ada dua faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih pemacu
biaya yaitu :
a. Biaya pengukuran (cost of
measurement)
Dalam sistem ABC, banyak alternatif
pemacu biaya yang dapat dipilih dan digunakan. Tetapi lebih baik rnemilih
pemacu biaya yang mnggunakan informasi yang telah tersediapengadaan informasi
baru merupakan biaya tambahan bagi perusahaan. Sebagai contoh, biaya quality
control dan set up memberikan pilihan penggunaan jam inspeksi atau jumlah
production runs sebagai pemacu biaya. Apabila jumlah konsumsi dari kedua pemacu
biaya tersebut telah tersedia dalam sistem informasi perusahaan, maka yang
dipilih adalah tidak penting. Apabila hanya production runs yang tersedia informasinya,
pemacu biaya inilah yang terpilih, untuk menwndari biaya pengadaan infonnasi
tambahan.
b. Derajat korelasi (degree of
correlation) antara pemacu biaya clan konsumsi overhead aktualnya.
Struktur infonnasi yang tersedia
dapat dimanfaatkan dengan cara lain untuk meminimalkan biaya pengumpulan
infonnasi konsumsi pemacu biaya. Terdapat kemungkinan untuk menggantikan suatu
pemacu biaya yang secara langsung mengukur konsumsi suatu aktivitas dengan
pemacu biaya tidak secara langsung mengukur konsumsi tersebut (indirect cost
driver atau surrogate cost driver). Misalnya, jam inspeksi dapat digantikan
oleh jumlah inspeksi actual tiap produk, angka ini tampak lebih diketahui.
Penggantian ini berlaku apabila jam yang digunakan per inspeksi per produk
adalah cukup stabil.
Pemacu biaya yang secara tidak
langsung mengukur konsumsi suatu aktivitas biasanya mengukur jumlah transaksi
yang berhubungan dengan aktivitas tersebut. Apabila jumlah aktivitas yang
dikomumsi per transaksi adalah stabil untuk setiap produk maka kita tidak akan
kehilangan akurasi. Dalam kasus demikian, pemacu biaya tidak langsung mempunyai
korelasi yang tinggi dan dapat digunakan.
1.5.
Kelompok Biaya (COST
POOL)
Difinisi kelompok biaya (cost
pool) adalah sekelompok biaya yang mempunyai karakteristik sama.
Karakteristik ini berkaitan dengan tolak ukur aktivitas yang sama, untuk maksud
pembebanan biaya produk. Dalam studi kasus ini, biaya-biaya utama dibagi
menjadi kelompok-kelompok biaya, agar pembebanan biayanya bisa dilakukan dengan
lebih akurat.
1.6.
Prosedur Biaya Tahap Sistem
ABC
Sistem biaya tradisional
mendistribusikan biaya overhead produksi ke produksi dengan menggunakan dasar
aplikasi yang disebut dengan unit based measures (pengukuran
berdasarkan jumlah unit), yaitu jam tenaga ke rja langsung, biaya tenaga kerja
langsung, jam mesin, biaya bahan baku langsung, atau dibebankan secara rata
pada seluruh produk yang dihasilkan. Sistem biaya ini mengasumsikan bahwa
sumber daya yang dikonsumsi proporsional dengan acuan tersebut.
Sistem biaya tradisional ini
menggunakan pembebanan dua tahap. Tahap pertama biaya overhead produksi
didistribusikan ke pusat-pusat biaya (cost center). Pada tahap kedua,
biaya yang terakumulasi dalam tiap pusat biaya dialokasikan ke produk dengan
menggunakan pemacu unit based tadi.
1. Prosedur Tahap Pertama
Sistem ABC merupakan suatu sistem
yang pertama kali menelusuri biaya ke aktivitas dan kemudian ke produk. Dalam
sistem ABC juga dikenal adanya prosedur pembebanan biaya dua tahap. Tahap
pertama adalah pembebanan biaya pemakaian sumber daya kepada
aktivitas-aktivitas. Sedangkan tahap kedua pembebanan biaya aktivitas kepada
produk berdasarkan aktivitas yang dikonsumsi produk tersebut.
2. Prosedur Tahap Kedua
Dalam tahap kedua, biaya setiap
kelompok biaya dibebankan ke produk. Ini dilakukan dengan menggunakan tarif
kelompok yang dihitung pada tahap pertama dikalikan dengan jumlah sumber daya
yang dikonsumsi oleh setiap produk.
Dengan
demikian, overhead yang dibebankan setiap kelompok biaya ke produk dihitung
sebagai berikut :
Overhead yang dibebankan = tarif
kelompok x jumlah pemacu biaya yang dikonsumsi
Sebagai contoh, pembebanan biaya
overhead kelompok pertama dan kedua dilakukan untuk jenis pupuk, A dan B
sebagai berikut : Biaya overhead kelompok 1 dan 2 dijumlahkan untuk mendapatkan
biaya overhead total. Dengan menambahkan biaya overhead total ke biaya utama akan
didapat biaya manufacturing total. Biaya manufacturing total ini kemudian dibagi
dengan jumlah unit produk yang dihasilkan untuk mendapatkan biaya manufacturing
per unit.
Baik dalam kalkulasi biaya
tradisional maupun kalkulasi biaya ABC, keduanya terdiri dari dua tahap. Tahap
keduanya juga sama-sama menelusuri biaya ke produk. Perbedaannya adalah bahwa
dalam tahap pertama sistem biaya tradisional, biaya ditelusuri ke pusat biaya,
bukan ke aktivitas. Selain itu pemacu biaya yang digunakan untuk membebankan
biaya pada tahap kedua sistem ABC lebih banyak dan lebih akurat dibandingkan
dengan system Tradisional.
2.
Balanced Scorecard
1.1
Konsep, Sejarah, dan Perkembangan Balanced Scorecard
Pertama kali diperkenalkan di USA
yang pada awalnya ditujukan untuk mengatasi problem tentang kelemahan sistem
pengukuran kinerja eksekutif yang berfokus pada aspek keuangan. Pada tahun
1990, Nolan Norton Institute, bagian riset kantor akuntan publik KPMG di
USA yang diketahui oleh David P. Norton, mensponsori studi tentang : “Pengukuran
kinerja dalam organisasi masa depan” studi ini didorong oleh kesadaran
bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang digunakan oleh semua
perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai.
Balanced
Scorecard digunakan untuk menyeimbangkan usaha
para eksekutif ke kinerja keuangan dan non keuangan. Hasil studi tersebut
diterbitkan dalam sebuah artikel berjudul :Balanced Scorecard-Measures That
Drive Performance”. Dalam Harvard Business Review (Januari-Februari
1992). Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif
di masa yang akan datang, diperlukan ukuran yang komprehensif yang mencakup 4
(empat) perspektif : perspektif keuangan, perspektif pelanggan, pespektif
proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
Balanced
Scorecard berkembang sejalan dengan
perkembangan implementasi konsep tersebut. Balanced Scorecard terdiri
dari dua kata : (1) kartu skor (scorecard) dan (2) berimbang (balanced).
Kartu skor adalah kartu yang digunakan untuk merencanakan skor yang hendak
diwujudkan oleh personel di masa depan. Melaui kartu skor, skor yang hendak
diwujudkan personel masa depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya.
Berdasarkan konsep balanced scorecard kinerja keuangan sebenarnya
merupakan hasil atau akibat dari kinerja non keuangan (pelanggan, proses bisnis
internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan).
Pada awal implementasi balanced
scorecard perusahaan yang ikut serta dalam eksperimen tersebut
memperlihatkan pelipatgandaan kinerja keuangan mereka. Keberhasilan ini
didasari sebagai akibat dari penggunaan ukuran kinerja balanced scorecard yang
komprehensif. Dengan menambah ukuran kinerja non keuangan, eksekutif
dipacu untuk memperlihatkan dan melaksanakan usaha-usaha yang merupakan pemacu
sesungguhnya (the real driver) untuk mewujudkan kinerja keuangan.
Itulah sebabnya mengapa balanced scorecard disebut “Measure
That Driver Performance”. Dalam tahap implementasi, pelaksanaan rencana
dipantau dengan pendekatan balanced
scorecard dalam pengukuran kinerja eksekutif dalam empat perspektif :
keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan 15
pertumbuhan. Pada tahap pemantauan, hasil pengukuran kinerja berdasarkan
pendekatan balanced scorecard dikomunikasikan kepada eksekutif untuk
memberikan umpan balik (feedback) tentang kinerja mereka, sehingga
mereka dapat mengambil keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka.
Pada tahap perkembangannya, balanced
scorecard dimanfaatkan untuk setiap sistem manajemen strategik, sejak tahap
perumusan strategi sampai tahap implementasi dan pemantauan. Pada tahap
perumusan strategi balanced scorecard digunakan untuk memperluas
cakrawala dalam menafsirkan hasil penginderaan terhadap trend perubahan
lingkungan macro dan lingkungan industri kedalam perspektif yang lebih luas :
keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan
pertumbuhan. Melalui empat perspektif balanced scorecard, manajemen
mampu menafsirkan dampak trend perubahan lingkungan bisnis yang
kompetitif terhadap visi, misi, tujuan dan sasaran strategi perusahaan.
1.2. Pengertian Balanced Scorecard
Pada tahun 1960-an Garrison (2000:
112), Perancis mengembangkan suatu konsep yang sama dengan balance scorecard
yang dinamai “Tableau de Bord” atau “Dashboard”. Di Eropa khusunsya di
Perancis, manager telah menggunakan pendekatan pengukuran kinerja, tableau de
Bord, yang sangat mirip dengan Balanced Scorecard. Tableau de Bord
mengidentifikasikan pemicu keberhasilan perusahaan dalam 4 bidang : logistic,
pemanufacturan, personalia dan administrasi. Balaced Scorecard pertama
kali diperkenalkan oleh Kaplan dan Norton di Harvard Business Revue Edisi
Januari – Februari 1992 yang merupakan salah satu alat manajemen strategi yang
terdiri dari satu rangkaian pengukuran yang dapat memberikan gambaran non
keuangan.
Balanced
Scorecard cocok satu sama lain activity
based responsibility accounting, karena Balanced Scorecard memfokuskan
pada proses dan memerlukan penggunaan informasi berbasis aktfifitas untuk
menerapakan banyak
tujuan
dan tolak ukurnya.
Menurut Munawir (2002: 437)
pengertian balanced Scorecard adalah : “Suatu kartu skor yang digunakan
untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan oleh seseorang di masa depan,
dan untuk mencatat skor hasil kinerja yang sesungguhnya dicapai oleh
seseorang”. Pengukuran kinerja tersebut memandang unit bisnis dari empat
perspektif, yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis dalam
perusahaan, serta proses pembelajaran dan pertumbuhan. Melalui mekanisme sebab
akibat (cause and effect), perspektif keuangan menjadi tolak ukur
utama yang dijelaskan oleh tolak ukur operasional pada tiga perspektif lainnya
sebagai driver (lead indication).
Menurut Yuwono (2003: 8)
mengemukakan bahwa Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen,
pengukuran, dan pengendalian yang secara cepat, tepat, dan komprehensif
dapat memberikan pemahaman kepada manajer tentang performance bisnis.
Menurut Umar (2002: 370) megemukakan
definisi Balanced Scorecard Penekanan pendekatan pada perbaikan yang
berkesinambungan (continuous improvement), bukan hanya sekedar pada
pencapaian suatu tujuan yang sempit, seperti laba sekian miliar rupiah.
Perbaikan yang berkesinambungan ini penting agar organisasi dapat
bersaing.
Menurut Mulyadi (2001: 1) bahwa Balanced
Scorecard merupakan Seperangkat peralatan manajemen yang digunakan untuk
mendongkrak kemampuan organisasi dalam melipatgandakan kinerja keuangan yang
mencakup empat perspektif yaitu: keuangan, konsumen, proses bisnis / intern,
dan pembelajaran dan pertumbuhan.
Selanjutnya Balanced Scorecard menurut
Kaplan dan Norton (2000: 117) ukuran kinerja keuangan saja tidaklah cukup untuk
menilai kinerja perusahaan yang diharapkan berhasil di masa depan tetapi juga
harus memperhatikan empat aspek ukuran kinerja yaitu: perspektif belajar dan
tumbuh (learning and growth perspective), perspektif proses
internal / bisnis (customer perspective), dan perspektif keuangan (financial
perspective).
Dari beberapa pendapat para ahli di
atas dapat disimpulkan bahwa balanced scorecard adalah sistem manajemen
strategik yang menerjemahkan misi dan strategi suatu organisasi dalam tujuan
dan ukuran operasional. Tujuan dan ukuran dikembangkan untuk empat perspektif
yaitu: perspektif keuangan, perspektif konsumen, perspektif proses bisnis, dan
perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Tujuan dan ukuran untuk keempat
perspektif tersebut dihubungkandengan serentetan hipotesis sebab dan akibat sehingga
menghasilkan testable
strategy dan memberikan feedback
bagi para manajer.
1.3. Proses Penyusunan Balanced Scorecard
Menurut Suhendra (2004),
mengemukakan bahwa bangunan balanced scorecard dimulai dari visi
perusahaan. Kemudian visi ini diuraikan dalam perspektif-perspektif
pengukuran. Pada masing-masing perspektif tersebut ditetapkan
tujuan-tujuan strategis yang lebih spesifik yang merupakan penjabaran dari
visi perusahaan. Atas dasar tujuan strategis ini, perusahaan kemudian
menetapkan fakor-faktor keberhasilan kritikal agar visi perusahaan
bias diwujudkan. Setelah penetapan fakor-faktor keberhasilan kritikal ini,
kemudian ditentukan ukuran-ukuran strategis yang mencerminkan strategi
perusahaan. Terakhir, perusahaan menyiapkan langkah-langkah spesifik yang akan
dilakukan pada masa mendatang agar tercapai tujuan tujuan strategis yang
merupakan syarat bagi pencapaian misi perusahaan.
1.4. Manfaat Balanced Scorecard
Manfaat Balanced Scorecard bagi
perusahaan menurut Kaplan dan Norton (2000: 122) adalah sebagai berikut :
1. Balanced Scorecard mengintegrasikan
strategi dan visi perusahaan untuk mencapai tujuan jangka pendek dan jangka
panjang.
2. Balanced Scorecard memungkinkan
manajer untuk melihat bisnis dalam perspektif keuangan dan non keuangan (pelanggan,
proses bisnis internal, dan belajar dan bertumbuh)
3. Balanced Scorecard memungkinkan
manajer menilai apa yang telah mereka investasikan dalam pengembangan sumber
daya manusia, sistem dan prosedur demi perbaikan kinerja perusahaan dimasa
mendatang.
1.5. Komponen-Komponen dalam Balanced Scorecard
Balanced
Scorecard yang dirancang dengan baik
mengkombinasikan antara pengukuran keuangan dari kinerja masa lalu dengan
pengukuran dari pemicu kerja masa depan perusahaan. Tujuan spesifik pengukuran balanced
scorecard perusahaan dijabarkan dari visi dan strategi perusahaan.
Adapun berikut ini akan dijelaskan mengenai komponen-komponen penting dalam Balanced
Scorecard.
1.
Perspektif Keuangan
Secara
tradisional, laporan keuangan merupakan indikator historis agregatif yang
merefleksikan akibat dari implementasi dan eksekusi strategi dalam satu
periode. Pengukuran kinerja keuangan akan menunjukkan apakah perencanaan dan
pelaksanaan strategi memberikan perbaikan yang mendasar bagi keuntungan
perusahaan. Perbaikan-perbaikan ini tercermin dalam sasaran-sasaran yang secara
khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur, pertumbuhan usaha, dan nilai
pemegang saham. Pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan
dari siklus kehidupan bisnis, yaitu: growth, sustain, dan harvest. Tiap tahapan
memiliki sasaran yang berbeda, sehingga penekanan pengukurannya pun berbeda
pula. Adapun tahapan-tahapan tersebut menurut Kaplan & Norton (2000: 136)
yaitu :
a. Tahap Pertumbuhan (growth)
Tahapan awal siklus kehidupan perusahaan
dimana perusahaan memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki
potensi pertumbuhan terbaik. Di sini, manajemen terikat dengan komitmen untuk
mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan suatu
produk/jasa dan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan
sistem, infrastruktur, dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan
global, serta membina dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan. Dalam tahap
pertumbuhan, perusahaan biasanya beroperasi dengan arus kas yang negatif dengan
tingkat pengembalian modal yang rendah. Dengan demikian, tolak ukur kinerja
yang cocok dengan tahap ini adalah, misalnya tingkat pertumbuhan pendapatan
atau penjualan dalam segmen pasar yang telah ditargetkan.
b. Tahap Bertahan (sustain)
Tahapan kedua dimana perusahaan
masih melakukan investasi dan reinvestasi dengan mengisyaratkan tingkan
pengembalian terbaik. Dalam tahap ini, peusahaan mencoba mempertahankan pangsa
pasar yang ada, bahkan mengembangkannya jika mungkin. Investasi yang dilakukan
umumnya diarahkan untuk menghilangkan bottleneck, mengembangkan kapasitas, dan
meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Sasaran keuangan pada
tahap ini diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang
dilakukan tolak ukur yang kerap digunakan pada tahap ini, misalnya ROI, ROCE,
dan EVA.
c. Tahap Panen (harvest)
Tahapan ketiga dimana perusahaan
benar-benar memanen/menuai hasil investasi di tahap-tahap sebelumnya. Tidak ada
lagi investasi besar, baik ekspansi maupun pembangunan kemampuan baru, kecuali
pengeluaran untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Sasaran keuangan utama
dalam tahap ini, sehingga diambil sebagai tolak ukur, adalah memaksimumkan arus
kas masuk dan pengurangan modal kerja.
2.
Perspektif Pelanggan
Dalam perspektif pelanggan Balanced
Scorecard, para manajer mengidentifikasi pelanggan dan segmen pasar dimana
unit bisnis tersebut akan bersaing dengan berbagai ukuran kinerja unit bisnis
di dalam sasaran masingmasing. Perspekitf ini biasanya terdiri atas beberapa
ukuran utama atau ukuran ginerik keberhasilan perusahaan dari strategi yang
dirumuskan dan dilaksanakan dengan baik
Ada dua kelompok pengukuran dalam
perspektif pelanggan yaitu Care Measurement Group dan Customer Value
Proposition (Kaplan & Norton, 2000: 150) :
1. Kelompok yang pertama Care Measurement Group, terdapat
lima tolak ukur yang tergabung dalam kelompok dibawah ini :
a. Market Share, yang
mengukur seberapa besar proporsi segmen pasar tertentu yang dikuasai oleh
perusahaan.
b. Customer Acquisition, tingkat
dimana perusahaan mampu menarik konsumen baru.
c. Customer Retention, tingkat
dimana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan konsumen lamanya.
d. Customer Satisfaction, tingkat
kepuasan konsumen terhadap criteria kinerja tertentu, seperti tingkat
pelayanan.
e. Customer Profitability, suatu
tingkat laba bersih yang diperoleh perusahaan dari suatu target atau segmen
pasar yang dilayani.
2. Kelompok yang kedua disebut Customer Value Proposition atau
proporsi nilai pelanggan yang menggambarkan performance’s driver (pemicu kerja)
yang menyangkut pertanyaan apa yang harus disajikan perusahaan untuk mencapai
tingkat kepuasan loyalitas, retensi dan akuisisi konsumen yang tinggi. Atribut
yang disajikan perusahaan dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:
1. Product or Services Atributes,
meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga dan kualitasnya. Dalam hal ini
prioritas konsumen bisa berbeda-beda, ada konsumen yang mengutamakan fungsi
dari produk, penyampaian yang tepat waktu dan harga murah.
2. Customer Relationship,
meliputi pengiriman produk dan jasa kepada pelanggan, termasuk dimensi waktu
dan respon pelanggan dan apa yang dirasakan pelanggan saat membeli produk dari
perusahaan.
3. Image and Reputation,
menggambarkan factor-faktor intangible yang menarik seorang konsumen untuk
berhubungan dengan perusahaan.
3.
Perspektif Proses Bisnis
Internal
Dalam perspektif ini, agar dapat
menentukan tolak ukur bagi kinerja ini, manajemen perusahaan pertama-tama perlu
mengidentifikasi proses bsinis internal yang terdapat di dalam perusahaan.
Menurut Kaplan & Norton (2000: 169), pendekatan Balanced Scorecard membagi
pengukuran dalam perspektif proses bisnis internal menjadi tiga bagian:
a. Inovasi (Innovation)
Proses inovasi dibagi menjadi dua bagian yaitu mengidentifikasi
kebutuhan pasar dan menciptakan produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan pasar
tersebut.
b. Operasi (Operations)
Tahapan ini merupakan tahapan aksi dimana perusahaan secara nyata
berupaya untuk memberikan solusi kepada para pelanggan dalam memenuhi keinginan
dan kebutuhan mereka.
c. Pelayanan Purna Jual (Postsale
Service)
Tahapan ini perusahaan berupaya untuk memberikan manfaat tambahan
kepada para pelanggan yang telah memberi produk-produknya dalam berbagai
layanan purna transaksi jual-beli, seperti garansi, aktivitas perbaikan dan
pemrosesan pembayaran.
4.
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Perspektif ini menyediakan infrastruktur bagi
tercapainya ketiga perspektif sebelumnya, dan untuk menghasilkan pertumbuhan
dan perbaikan jangka panjang. Penting bagi suatu badan usaha saat melakukan
investasi tidak hanya pada peralatan untuk menghasilkan produk/jasa, tetapi
juga melakukan investasi pada infrastruktur, yaitu: sumber daya manusia, sistem
dan prosedur.
Tolak ukur kinerja keuangan, pelanggan, dan
proses bisnis internal dapat mengungkapkan kesenjangan yang besar antara
kemampuan yang ada dari manusia, sistem, dan prosedur. Untuk memperkecil
kesenjangan itu, maka suatu badan usaha harus melakukan investasi dalam bentuk
reskilling karyawan, yaitu: meningkatkan kemampuan sistem dan teknologi
informasi, serta menata ulang prosedur yang ada. Perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan mencakup 3 prinsip kapabilitas yang terkait dengan kondisi intemal
perusahaan, yaitu:
1.
Kapabilitas
pekerja.
Kapabilitas pekerja adalah merupakan bagian
kontribusi pekerja pada perusahaan. Sehubungan dengan kapabilitas pekerja, ada
3 hal yang harus diperhatikan oleh manajemen:
a.
Kepuasan pekerja.
Kepuasan pekerja merupakan prakondisi untuk
meningkatkan produktivitas, tanggungjawab, kualitas, dan pelayanan kepada
konsumen. Unsur yang dapat diukur dalam kepuasan pekerja adalah keterlibatan
pekerja dalam mengambil keputusan, pengakuan, akses untuk mendapatkan
informasi, dorongan untuk bekerja kreatif, dan menggunakan inisiatif, serta
dukungan dari atasan.
b.
Retensi pekerja.
Retensi pekerja adalah kemampuan imtuk
mempertahankan pekerja terbaik dalam perusahaan. Di mana kita mengetahui
pekerja merupakan investasi jangka panjang bagi perusahaan. Jadi, keluamya
seorang pekerja yang bukan karena keinginan perusahaan merupakan loss pada
intellectual capital dari perusahaan. Retensi pekerja diukur dengan persentase
turnover di perusahaan.
c.
Produktivitas pekerja.
Produktivitas pekerja merupakan hasil dari
pengaruh keseluruhan dari peningkatan keahlian dan moral, inovasi, proses
internal, dan kepuasan pelanggan. Tujuannya adalah untuk menghubungkan output
yang dihasilkan oleh pekerja dengan jumlah pekerja yang seharusnya untuk
menghasilkan output tersebut.
2.
Kapabilitas
sistem informasi.
Adapun yang menjadi tolak ukur untuk
kapabilitas sistem informasi adalah tingkat ketersediaan informasi, tingkat
ketepatan informasi yang tersedia, serta jangka waktu untuk memperoleh
informasi yang dibutuhkan.
3.
Iklim organisasi
Hal yang mendorong timbulnya motivasi, dan
pemberdayaan adalah penting untuk menciptakan pekerja yang berinisiatif. Adapun
yang menjadi tolak ukur hal tersebut di atas adalah jumlah saran yang diberikan
pekerja.
CONTOH
KASUS
PENENTUAN
HPP DENGAN METODE
ACTIVITY
BASED COSTING
PT. ADIP memproduksi empat jenis produk yaitu : B, L, U , E dan
dengan data sebagai berikut :
|
Biaya tenaga kerja Rp. 400
/ jam
Biaya Overhead Pabrik
• Biaya
inspeksi pabrik (Factory inspection expense) Rp.
40.000
• Biaya Listrik
Rp.
70.000
• Biaya
perawatan mesin (machine maintenance cost) Rp.
90.000
• Biaya Persiapan produksi (product preparation cost) Rp. 150.000
Rp.
350.000
Hitunglah harga pokok per unit :
a. Menggunakan metode konvensional dengan memakai tarif overhead
jam tenaga kerja
b. Menggunakan ABC dengan pemacu biaya sebagai berikut :
Biaya
Inspeksi pabrik dialokasikan berdasarkan jam inspeksi
Biaya Listrik
dialokasikan berdsarkan kilowatt jam
Biaya
perawatan mesin dialokasikan berdasarkan jam mesin
Biaya
persiapan produksi dialokasikan berdasarkan putaran produksi
c. Bandingkan hasil dari kedua metode tersebut!
A. Metode konvensional :
Tarif BOP : 350.000 / 2500 JTK = Rp
140 / Jam Mesin
keterangan
|
B
|
L
|
U
|
E
|
Biaya
material
|
100.000
|
150.000
|
200.000
|
250.000
|
BTKL
|
30.000
|
38.000
|
48.000
|
24.000
|
Biaya
Utama
|
130.000
|
188.000
|
48.000
|
274.000
|
BOP@140
|
49.000
|
70.000
|
91.000
|
140.000
|
HPP
|
1 79.000
|
258.000
|
339.000 Rp
|
414.000
|
Unit yang
diproduksi
|
400 Unit
|
450 Unit
|
750 Unit
|
600 Unit
|
HPP/Unit
|
447.50
|
573.33
|
452
|
690
|
B. Metode ABC :
Tarif BOP :
Biaya Inspeksi
Pabrik Rp 40.000 / 400 Jam = Rp 100 / Jam inspeksi
Biaya Listrik
Rp 70.000 / 6000 Jam = 11.67 / kilojam
Biaya Perawatan
mesin Rp 90.000 / 2500 = 36 / Jam mesin
Biaya Persiapan
Produksi Rp 150.000 / 200 = 750 / putaran
|
Membandingkan hasil yang
diperoleh
|
Metode ABC membebankan BOP lebih
besar terhadap produksi dengan volume lebih rendah sehingga HPP / unit yang
menjadi lebih mahal dan membebankan BOP lebih kecil terhadap produksi dengan
volume yang lebih tinggi sehingga HPP/unit lebih murah.
Contoh Kasus Balance Scorecard
PERFORMANCE MANAGEMENT SYSTEM DI PT KOJO
PT. KOJO adalah perusahaan yang bergerak
dibidang property migas yang beroperasi di wilayah Kalimantan Timur dan Riau,
Klien PT KOJO terdiri dari para kontraktor Migas seperti Schlumberger,
Haliburton, BJ Service, EMI dll. PT. KOJO menerapkan Performance Management
system dengan pola 2 kaki yaitu management by Objective dengan
mengimplementasikan Balanced Scorecard dan Management by values melalui
competency model. KOJO mencoba
menyeimbangkan orientasi hasil dan orientasi proses, mencoba membangun system
pengukuran kinerja serta membangun juga budaya perusahaan yang mantap dan dapat
dianut oleh seluruh stakeholders.
Lebih jauh lagi dalam implementasinya, KOJO
juga focus dalam menciptakan tenaga kerja yang professional dengan menggunakan
system pengukuran balanced scorecard. Melalui balanced scorecard setiap
departemen harus terlibat dalam menunjang rencana strategis perusahaan.
Dalam tataran operasionalnya keseluruhan
sasaran strategis akan diturunkan kedalam sasaran strategis departemen (cascading)
dan masing-masing diberikan Key Performance Indicator untuk mengukurnya.
TREND WATCHING MELALUI ANALISA SWOT BERBASIS
BALANCED SCORECARD
Mengawali proses Balanced Scorecard KOJO
melakukan analisa SWOT dengan berbasis balanced scorecard sehingga didapat
sebagai berikut:
Ancaman
|
Peluang
|
Kekuatan
|
Kelemahan
|
|
Keuangan
|
Inflasi, kenaikan harga pangan,
listrik dan fluktuasi harga minyak
|
Perkembangan ekonomi yang bagus
|
Keuangan yang sehat
|
Cashflow yang kurang terkelola
|
Pelanggan
|
Kompetitor baru
|
Munculnya pelanggan baru di migas
|
Reputasi perusahaan di bidang
support base
|
Pelayanan yang kurang maksimal
|
Proses Internal
|
Audit client dan Gangguan LSM
lokal
|
Adanya upaya untuk perbaikan
proses pelayanan dan produksi
|
Terjaganya prosedur melalui
sistem Balanced Scorecard
|
Ktidak konsistenan dalam
menjalankan prosedur
|
Pembelajaran dan pertumbuhan
|
Pembajakan karyawan
|
Munculnya karyawan muda dan
terampil
|
Manajemen yang berpengalaman
|
Masih adanya karyawan tua dan
kurang terampil
|
Terdapat kondisi yang mendukung dilakukannya
perancangan dan penerapan BSC sebagai suatu sistem manajemen strategis yang
sekaligus digunakan sebagai instrumen pengukuran kinerja di PT. KOJO.
Kondisi Pertama, yang
mendukung penerapan BSC adalah PT. KOJO telah memiliki visi dan misi yang jelas
dan mudah dipahami serta dituangkan dalam konsep-konsep strategis yang
gamblang. Hal ini relatif memudahkan identifikasi sasaran strategis perusahaan
dan perancangan model BSC yang sesuai dengan arah strategi perusahaan.
Keberhasilan identifikasi strategi perusahaan beserta sasaran-sasarannya akan
memudahkan pemilihan berbagai tolok ukur kinerja bisnis yang sesuai untuk PT.
KOJO.
Kondisi Kedua, struktur organisasi PT. KOJO yang didominasi
oleh keleompok-kelompok fungsional ( Urusan-urusan dan grup-grup) relatif
berhasil mengurangi herarkisme organisasi. Hal ini memungkinkan terjadinya
komunikasi yang efektif diantara seluruh individu dalam organisasai. Dengan
demikian visi, misi dan strategi usaha yang dirancang di tingkat puncak akan
dapat dikomunikasikan secara efektif keseluruh individu dalam organisasi
perusahaan. Kesatuan pemehaman seluruh individu atas visi, misi dan strategi
perusahaan sangatlah penting untuk mendukung keberhasilan implementasi BSC
untuk mengukur kinerja bisnis, dan juga proses evaluasi serta proses umpan
baliknya. Dengan adanya kesatuan pemahaman tersebut, setiap individu akan
berusaha menyelaraskan tujuan atau sasaran kerjanya ( personal goals ) dengan
sasaran strategis perusahaan, sehingga pada akhirnya pencapaian sasaran
strategis perusahaan akan berarti pencapaian tujuan setiap individu. Hal ini
pada akhirnya akan memberikan kepuasan kerja pada seluruh karyawan, dan
manajemen pun akan lebih mudah melakukan penilaian atas kinerja setiap individu
guna menentukan kompensasi secara objektif.
Kondisi Ketiga, kondisi
persaingan yang semakin meningkat, mendorong PT KOJO untuk senantiasa
merumuskan dan mengevaluasi secara terus menerus strategi usahanya untuk dapat
bertahan dan memenangkan persaingan. Untuk dapat mengevaluasi efektivitas
strategi usaha pencapaian sasaran-sasaran strategis perusahaan secara tepat,
PT. KOJO memerlukan suatu instrumen pengukuran kinerja bisnis yang dapat
memberikan informasi tentang keberhasilan strategi dan operasi bisnis
perusahaan secara komprehensif, bukan hanya dari aspek keuangan, namun juga
dari seluruh aspek yang terlibat dan berpengaruh secara signifikan terhadap
proses bisnis secara keseluruhan. Karakteristik instrumen pengukuran kinerja
seperti ini dapat ditemukan pada konsep BSC.
Kondisi Keempat, komposisi
sumber daya manusia di PT. KOJO yang sebagian besar berusia relatif muda ( 49%
pegawai berusaha dibawah 30 tahun, 45% berusia antara 31-40 tahun, dan sisanya
diatas 40 tahun ) yang sebagian besar berpendidikan sarjana memungkinkan adanya
dinamika dan progresivitas proses manajerial. Lazimnya, pegawai berusia muda
relatif lebih tanggap terhadap perubahan dan lebih dapat diterima adanya sistem
baru secara mudah. Kondisi semacam
ini jelas sangat kondusif bagi penerapan BSC sebagai instrumen pengukuran
kinerja bisnis di PT. KOJO.
Dengan kondisi-kondisi seperti tersebut diatas maka PT. KOJO
sangat tepat untuk segera menerapkan sistem strategis manajemen berbasis BSC
yang dapat digunakan sebagai suatu sistem pengukuran kinerja yang komprehensif
dalam melihat kinerja perusahaan dari berbagai sudut pandang yang sangat
seimbang.
PENENTUAN VISI DAN MISI SERTA STRATEGI
Untuk
menjalankan kegiatan operasionalnya, PT. KOJO telah menyusun perencanaan bisnis
dimana di dalamnya diterapkan visi dan misi perusahaan, yang merupakan
pernyataan tujuan jangka panjang perusahaan, termasuk strategi yang akan
digunakan untuk berkompetisi.
Visi
Perusahaan yang terpercaya dalam pengembangan property di bidang industry pertambangan dan energy global
Misi
Perusahaan Maju yang memberikan pelayanan yang
inovatif dalam memenuhi kebutuhan client serta dikelola secara professional
Values
Pernyataan misi diatas telah memperhatikan
perspektif secara berimbang:
1.
Keuangan, yang ditransformasikan dengan perusahaan maju
2.
Pelanggan, yang ditransformasikan dengan dalam memenuhi
kebutuhan client
3.
Bisnis internal, yang
ditransformasikan dalam pelayanan yang inovatif
4.
Pertumbuhan dan pembelajaran, yang
ditransformasikan dengan secara professional. Hal ini menunjukkan perhatian
perusahaan pada upaya peningkatan keahlian dan profesionalitas pegawai
PROSES DESIGN
BALANCED SCORECARD
Dalam
tahap awal perancangan BSC haruslah dibentuk tim kerja yang dipimpin oleh
Pimpinan dengan anggota dari berbagai bagian dalam perusahaan, sehingga seluruh
bagian dalam perusahaan terwakili. Tim kerja ini akan didampingi dan bekerja
sama dengan Tim dari luar perusahaan yang mengerti dan memahami konsep ini
secara baik dan benar. Dalam contoh ini Tim kerja dari dalam perusahaan tidak
dibentuk, oleh karenanya rancangan ini nantinya diharapkan dapat menjadi model
dasar BSC yang dapat diimplementasikan di PT. KOJO atau sebagai contoh bagi
perusahaan lain.
Proses
selanjutnya dari perancangan BSC ini adalah mengevaluasi visi, misi dan
strategis yang ada. Apakah masih akan dipertahankan atau dilakukan perubahan
sesuai dengan hasil analisis terhadap visi dan misi perusahaan termasuk
analisis terhadap strategis yang digunakan. Hal ini akan lebih baik jika
didukung oleh suatu penelitian mengenai tren industri oil support base.
PENENTUAN
STRATEGI
Tahapan
selanjutnya adalah penentuan strategi yang akan digunakan oleh PT. KOJO dalam
menjalankan usahanya.
Model ini menunjukan dua variabel untuk
menentukan strategi perusahaan, yaitu daya tarik industri ( industry
attractiveness ) dan kekuatan bisnis perusahaan ( business strength ) dalam
penguasaan pangsa pasar yang ada.
Dari hasil analisis ternyata daya tarik
industri tinggi, hal ini terbukti dengan banyaknya peminat yang masuk wilayah
oil support base, dan PT KOJO, memiliki kekuatan usaha yang sangat kuat dalam
penguasaan pangsa pasar. Maka strategi yang dipilih adalah strategi pertumbuhan
( growth strategy ). Pertimbangan lainnya dalam pemilihan strategi ini adalah
kesesuaian visi dan misi perusahaan. Dimana untuk dapat mencapai visi dan misi
perusahaan seperti tersebut diatas maka perusahaan harus terus berkembang.
PEMILIHAN PERSPEKTIF DAN PENENTUAN SASARAN
STRATEGIS
Penentuan persepektif yang akan digunakan untuk
menjabarkan strategi ke dalam istilah-istilah operasional ( translating
strategy into operational terms ) dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan
antara aspek keuangan dan non keuangan, aspek masa lalu dan aspek masa depan,
serta aspek eksternal dan aspek internal. Untuk itu empat perspektif yang
ditawarkan Kaplan dan Norton dalam konsep BSC diterapkan yaitu :
1.
Perspektif Keuangan
2.
Perspektif Pelanggan
3.
Perspektif Internal Bisnis, dan
4.
Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran
Keempat perspektif tersebut dianggap mencukupi
dengan sedikit perubahan nama dalam perspektif pelanggan menjadi perspektif
nasabah, sesuai dengan keunikan dari industri perbankan itu sendiri dimana
pelanggan memiliki penamaan sendiri yaitu ” client “.
Dari berbagai data yang ada seperti data
perancangan strategis dari hasil wawancara dengan berbagai pihak di PT. KOJO,
yaitu penentuan sasaran-sasaran strategis didalam setiap perspektif, dapat di
laksanakan. Dari proses ini penentuan sasaran-sasaran strategis PT. KOJO adalah
:
1.
Meningkatkan pendapatan melalui proyek konstruksi dan efisiensi.
2.
Meningkatkan mutu pelayanan kepada client.
3.
Meningkatkan jumlah workshop untuk disewakan.
5.
Mengembangkan teknologi.
6.
Meningkatkan profesionalisme pegawai, dan
7.
Meningkatkan pengawasan dan budaya patuh pada aturan.
Sasaran strategis tersebut kemudian diturunkan
ke tingkat divisi dan departemen.
Dari seluruh sasaran strategis yang sudah
disiapkan dibuatlah masing-masing KPI (Key Performance Indicator)nya, KPI
tersebut diturunkan pula dari KPI strategi sampai dengan KPI departemen, bahkan
untuk keperluan evaluasi karyawan diturunkan pula ke tataran Job/Jabatan.
Berikut contohnya:
Untuk mempermudah proses cascading strategi
maka dibuatlah peta strategy (strategic mapnya),
Perspektif Keuangan PT. KOJO
Dengan strategi pertumbuhan pendapatan
tersebut, maka tolok ukur keuangan yang sebaiknya dijadikan sebagai tolok ukur
kinerja bisnis yang utama adalah tolok ukur keuangan. Tolok ukur ini dapat
digunakan untuk menilai keberhasilan pencapaian sasaran strategis PT. KOJO
dalam hal pendapatannya, yaitu :
a. Return on Assets ( ROA )
Yaitu persentase laba kotor yang dicapai
perusahaan dibandingkan dengan total aktiva perusahaan. Kenaikan atau penurunan
ROA dari satu periode akuntansi berikutnya dapat dijadikan ukuran pertumbuhan
pendapatan perusahaan. Jika tolok ukur ini dirata-ratakan untuk beberapa
periode, akan menghasilkan tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata ( average
growth rate )
b. Net Margin ( Laba setelah Pajak ).
Pertumbuhan atau penurunan laba dari period eke
periode juga dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan pertumbuhan pendapatan
perusahaan. Jika tolok ukur ini dirata-ratakan untuk beberapa periode, akan
menghasilkan tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata ( average growth rate )
c. Revenue mix ( bauran pendapatan )
Yaitu melihat pendapatan dari berbagai sumber
darimana pendapatan tersebut diperoleh, seperti bernagai macam produk atau
nasabah (segmen ). Ukuran ini untuk mengukur kinerja atau profitabilitas
berbagai macam produk yang ada dan setiap segmen nasabah.
Perspektif Client PT. KOJO
Sasaran
stratedi dalam perspektif nasabah meliputi :
1. Miningkatkan mutu pelayanan kepada client,
dengan tujuan untuk meningkatkan kepuasan client dan juga mempertahankan
client.
2. Meningkatkan jumlah workshop untuk
disewakan. Dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah client dan pangsa pasar.
3. Kedua sasaran strategis tersebut diatas
sejalan dengan strategi pertumbuhan perusahaan dan sasaran strategis berupa
meningkatkan pendapatan pada perspektif keuangan.
Dengan demikian, tolok ukur yang tepat untuk
mengukur keberhasilan pencapaian sasaran strategis dalam perspektif nasabah
adalah :
a. Tingkat Kepuasan client ( client
satisfaction )
Tolok ukur ini
dapat diketahui melalui survey kepada client secara periodic. Salah satu metode
survey yang dapat digunakan adalah dengan metode servqual. Metode ini merupakan
cara untuk mengetahui seberapa besar kesenjangan ( gap ) antara harapan (
expectation ) client dan persepsi client terhadap pelayanan yang diberikan PT.
KOJO. Masing-masing item pernyataan dari harapan dan persepsi nasabah diberikan
nilai ( score ) untuk dapat melihat selisih ( gap ) antara harapan pelanggan
dan persepsinya.
b. Penguasaan Pasar ( marker share )
Tolok ukur ini merupakan tolok ukur yang
penting karena terkait erat dengan visi PT. KOJO. Pangsa pasar dihitung dari
besarnya pasar atau jumlah nasabah yang berhasil dikuasai PT. KOJO dibandingkan
dengan total pasar atau jumlah nasabah potensial dalam bisnis oil support di
indonesia. Secara singkat peningkatan penguasaan pangsa pasar ini disebabkan
oleh dua hal yaitu kemampuan perusahaan untuk mempertahankan client lama dan
memperoleh client baru.
c. Kemampuan untuk mempertahankan client lama
atau retensi client (client retention).
Tolok ukur ini dapat dihitung dari perbandingan
antara jumlah pelanggan yang tetap setia dengan KOJO untuk suatu periode
sebelumnya. Hasilnya dibandingkan dengan standar atau criteria yang telah
ditentukan, untuk menilai apakah PT KOJO dapat mempertahankan clientnya dengan
baik atau tidak.
d. Kemampuan memperoleh client baru atau
akuisisi client (client acquisition)
Tolok ukur ini dapat dilihat dari besarnya
jumlah client baru yang berhasil diperoleh PT. KOJO dibandingkan dengan
estimasi jumlah pelanggan potensial atau dibandingkan dengan estimasi kemampuan
pesaing. Hasilnya dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan sbelumnya.
Perspektif Proses Bisnis Internal PT. KOJO
Perspektif
ini memiliki dua sasaran strategis yaitu:
1.
Mengembangkan jasa-jasa baru yang dapat diandalkan, dan
2. Meningkatkan
pemanfaatan teknologi informasi dan kerja sama dengan pihak ketiga
Sasaran strategis pertama ; berupa
pengembangan jasa-jasa baru yang dapat diandalkan untuk mengantisipasi
kebutuhan client akan layanan jasa migas sehingga client lama dapat
dipertahankan dan client baru dapat diperoleh yang pada akhirnya akan
memperbesar pengusaan pangsa pasar, PT. KOJO dan meningkatkan nilai bauran
pendapatan. Tolok ukur yang tepat untuk mengukur keberhasilan pencapaian
strategis ini adalah :
a.
Pendapatan layanan Baru
Tolok
ukur ini berguna untuk mengukur tingkat keberhasilan layanan-layanan baru dalam
meraih pendapatan selama periode tertentu. Misalnya, dengan menghitung
pendapatan yang berasal dari setiap layanan baru ( revenue of new product )
untuk suatu periode tertentu dibandingkan dengan total pendapatan PT. KOJO
dalam periode tersebut. Disamping itu, keadaan layanan baru dapat pula diukur
dari kontribusinya dalam meraih client atau jumlah client lama yang menggunakan
atau beralih ke layanan baru tersebut. Misalnya dengan cara menghitung
persentase jumlah client untuk suatu produk baru dibandingkan total jumlah
client PT. KOJO secara keseluruhan. Makin besar kontribusi yang diberikan suatu
produk baru, makin menandakan keandalan produk tersebut untuk meningkatkan
pendapatan perusahaan.
b. Siklus
Pelayanan
Tolok
ukur ini berguna sebagai dasar untuk menilai responsitivitas dalam
mengantisipasi kebutuhan nasabah dan tingkat inovasi PT. KOJO. Semakin cepat
siklus pelayanan dihasilkan dapat berarti bahwa perusahaan semakin responsif
dan pegawai semakin tinggi tingkat keahliannya.
Sasaran Strategis Kedua ; adalah
peningkatan penggunaan teknologi informasi. Hal ini bertujuan untuk memberikan
pelayanan yang berkualitas kepada para client dan untuk memperlancar
bergulirnya proses diseluruh bagian perusahaan. Tolok Ukur yang dapat digunakan
untuk mengukur keberhasilan sasaran strategis ini adalah :
a.
Tingkat Kesalahan Layanan ( service error rate ).
Tolok
ukur ini dimaksudkan untuk mengukur seberapa sering pegawai melakukan kesalahan
dalam memberikan layanan kepada client termasuk tingkat kesalahan pekerjaan
lain yang menjadi tugasnya. untuk melihat kebenaran dari tingkat kesalahan
layanan ini bisa dilakukan dengan melakukan audit kualitas layanan ( service
quality audit ). Semakin rendah tingkat kesalahan layanan maka tingkat kepuasan
client akan semakin tinggi.
b.
Waktu Pelayanan (Service time )
Tolok
ukur ini digunakan untuk mengukur kecepatan pelayanan yang dilakukan..
Perspektif Pembelajaran dan pertumbuhan
Perspektif ini mengacu pada profesionalisme
pegawai, dalam hal ini bisa diukur dengan:
a.
Training Index,
yaitu jumlah training yang dilakukan oleh perusahaan kepada karyawan
b.
Turnover
karyawan, yaitu berapa banyak orang yang keluar masuk secara cepat dalam
periode tersebut.
c. Berapa banyak tingkat produktivitas yang
dihasilkan oleh karyawan.
Sumber:
1. http://file.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI.AKUNTANSI-AGUS_WIDARSONO.
BalanceScoreCard.pdf
terbit: /2008. 01.1
2. http://repository.widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/10364/894/content%202.pdf
3. http://arsip.uii.ac.id/files/
terbit : 2012/08/05. 2-bab-212.pdf
4. http://www.ilab.gunadarma.ac.id/modul/
Modul Akuntansi Manajemen.pdf.
terima kasih, sangat membantu saya menghadapi ujian kuliah ^^
BalasHapus-Arie Hapsoro-
oke sama2 :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus